Pages

Kamis, 26 Maret 2015

LEVIATHAN



Andrei Zvyagintsev tak terlalu pusing dengan kritik tajam dan upaya pemerintah Rusia melarang Leviathan beredar di seluruh bioskop Negeri Beruang Merah. Menteri Kebudayaan Rusia berhak marah karena memang memiliki ‘saham’ dalam penggarapan film tersebut. Kremlin mendonorkan 30 persen modal pembuatan film yang menghabiskan dana 220 juta Rubel itu. Kendati demikian, Leviathan sukses di berbagai festival film internasional dan mendapat sambutan hangat para penikmat seni peran. Bagi Andrei, tugas kebudayaannya cukup maksimal untuk membangkitkan kesadaran saudara sebangsanya sekaligus menyentil Kremlin yang makin hari makin serakah, setidaknya jika dilihat dari fenomena belakangan ini.

Rusia di bawah kepemimpinan Vladimir Putin memang tengah bergelora. Putin mendaulat dirinya sebagai suksesor Stalin dan ingin menjadikan Moskow sebagai anak sulung yang bertanggung jawab membangkitkan nama harum bapaknya, Uni Soviet. Setidaknya Putin sukses mencaplok Semenanjung Krimea dari Ukraina, adik kandung pengkhianat yang kini berkongsi dengan Barat. Etnisitas menjadi senjata ampuh Rusia. Dengan alasan yang dibuat-buat, Tirai Besi mencoba menarik kembali wilayah berpenduduk bahasa Rusia berada di bawah Kremlin. Donetsk dan Luhansk masih membara, negara lain pecahan Soviet pun was-was.

Agresivitas Kremlin menjadi inti cerita Leviathan. Berbeda dengan halaman media massa, Zvyagintsev menawarkan sudut pandang lain. Sutradara Elena (2003) itu menerjemahkan kesewenang-wenangan Kremlin dan kaki tangannya dengan korupsi berwujud pencaplokan tanah warga. Hukum menjadi pisau penikam warga miskin yang dipegang penguasa.

Pribrezhnyy sejatinya kuburan. Kota dermaga itu hanya menyisakan bangkai kapal-kapal besar bersanding belulang raksasa makhluk laut yang terdampar di pantai, Sang Leviathan. Kehidupan tak lagi memuja perairan. Dulu memang jaya. Ketika Uni Soviet belum porak poranda, teluk teduh dilayari kapal-kapal besar penangkap ikan. Citra kejayaan masih tersimpan baik di benak warga, pula di foto pudar kekuningan.

Laut Barents tak pernah mengamuk. Geraknya begitu dingin, sedingin suhu airnya. Gelombang hanya sesekali menghantam bibir pantai. Namun, cuaca kerap tak menentu. Hujan berderai di musim gugur yang tak pernah damai. Kelabu. Awan-awan menghalangi sinar matahari, gunung menjulang habis dipapas demi material bahan dasar pembangunan. Di sini, di Pribrezhnyy, sejauh mata memandang minim tumbuhan. Di sini, di Pribrezhnyy, sedalam hidung menghirup, hanya debu dan asin laut.

Tapi Pribrezhnyy kuburan bernisan bangga. Bagi Kolya (Alexei Serebriakov), secuil tanah di hadapan muara adalah satu-satunya property miliknya. Itu pun warisan turun-temurun. Pekerjaannya tak tetap meski andal mengutak-atik mesin kendaraan. Istrinya, Lilia (Elena Lyadova), memang membantu mencari penghasilan. Namun sekadar untuk makan dan sekolah Roma (Sergey Pokhodaev), anak hasil perkawinan Kolya dengan istri pertama. Tak ayal, Kolya meminta Dmitri (Vladimir Vdovichenkov) jadi kuasa hukumya melawan Walikota Pribrezhnyy bernama Vadim (Roman Madyanov) yang hendak menganeksasi tanah secuil itu untuk kepentingan pribadi, alih-alih negara.

Sebenarnya Zvyagintsev dan Oleg Negin mengadopsi hikayat Marvin Heemeyer, warga Amerika yang bernasib serupa Kolya. Influensi itu kemudian dikembangkan dengan plot cerita keluarga karena Heemeyer tak berkeluarga. Kendati agak terbelah, ajaibnya cerita keluarga menjadi bumbu melezatkan untuk menikmati karakteristik sosial warga miskin pada umumnya. Cobaan demi cobaan yang dialami Kolya diasosiasikan sehingga tampak riil dan bisa terjadi pada siapa saja. Bahwa tanah mesti dipertahankan memang benar, namun masalah keluarga juga penting untuk dikelola sehingga tak mengacaukan kehidupan sosial lainnya. Intrik keluarga itu terlihat pertama kali kala Roma tak pernah berdamai dengan ibu tirinya, Lilia.

Aroma ketidakberesan melebar justru ketika Kolya tengah digugat habis Walikota busuk. Kesabaran Lilia berada di ujung tanduk. Dia makin merasa terasing karena Kolya tak pernah mau mendengar sarannya. Bagi Lilia, sikap keras kepala suaminya hanya membuat Vadim kian berkelit untuk merampas rumah dan tanah secuil warisan mertuanya itu. Padahal, Vadim telah menawarkan sejumlah uang agar Kolya pergi meskipun tawaran itu tak sesuai. Ditambah, kerjaan Kolya cuma mabuk dan marah-marah. Di sisi lain Dmitri hadir menawarkan harapan. Celakanya, angan itu sepaham dengan Lilia. Si flamboyan dengan percaya diri mampu mengalahkan Vadim. Dia anggota firma hukum kesohor di Moskow yang meminta Vadim menaikkan tawaran ganti rugi properti milik temannya. Tak cuma itu, keberadaanya juga menjadi penawar rasa keterasingan sehingga Lilia mulai jatuh cinta.

Dmitri memang pintar, tapi Vadim licik. Gelagat ketidakberesan itu merupakan celah potensial bagi Vadim. Kasmaran seakan membutakan mata Dmitri. Kehebatan teman menumbuhkan kejumawaan yang teramat dalam diri Kolya. Sementara Vadim terus merancang strategi dengan menargetkan Lilia sebagai titik lemah. Sampai di sini, bias gender seolah terasa. Penulis naskah seperti menyampingkan peran perempuan yang ada dalam film. Anehnya, jawaban atas penyampingan itu tak mudah digali. Satu sisi perempuan cuma pelengkap, di sisi lain perempuan punya daya logis yang sengaja dibuat untuk mengkritik kentalnya budaya patriarki bangsa Slavia,  mungkin sebenarnya secara umum. Perempuan, dalam skema cerita Leviathan diciptakan sebagai alat mencapai kekuasaan. Leviathan, dalam mitologi Yahudi, monster yang suka membunuh dan mencegah perempuan memiliki kegemilangan masa depan.

Monster berwujud Vadim itu dibikin lebih cerdik. Dia tahu bahwa Tuhan memerintahkan wakilnya di Bumi untuk memenggal penguasa laut itu. Karenanya Sang Monster berupaya mengajak damai para wakil Pemilik Kehidupan. Para uskup juga manusia yang diciptakan dengan hawa nafsu. Mereka suka barang-barang antik dan berbotol-botol anggur. Aneka kemewahan dunia itu melimpah di rumah Vadim. Maka jelas ketika Vadim bimbang melawan ancaman Dmitri, uskup agung Pribrezhnyy menyetujui rencana Walikota melenyapkan kepentingan Kolya. Dmitri bagai jatuh tertimpa tangga, dihajar Kolya beserta teman-temannya karena kedapatan berselingkuh dengan Lilia dan dihajar habis Walikota. Dmitri pulang dengan kehampaan. Lilia masih punya ruang karena Kolya membuka lebar pintu maaf baginya. Namun, perempuan itu malah tewas di bibir pantai tanpa diketahui oknum penikamnya. Justru Kolya yang jadi terpidana. Kolya si tukang mabuk, Kolya manusia paling depresif setelah ditinggal istri dan kekalahan menyakitkan, hanya bisa menangis dan pasrah dibui.

Leviathan melempar jauh angan-angan penonton agar plot berakhir happy. Andrei menancapkan langsung pandangannya bahwa kuasa memang diciptakan dengan pertarungan. Orang yang memiliki banyak senjata dan taktik jitu bakal merebut kemenangan. Modal tekad atau keteguhan tok jangan berharap banyak. Kemanusiaan hanya slogan sebab rasa kasihan muncul setelah segalanya porak poranda.

Mungkin tak salah jika rumah disebut pangkal sejarah. Pun tak perlu disangkal kalau rumah adalah sumbu masalah. Rumah bisa menjadi zona nyaman, di sisi lain penjara menyesakkan. Dua sisi mata uang yang mestinya tumbuh cerita, entah sedih atau bahagia, hingga wafat tetap jadi hikayat. Kepada rumah sepantasnya kita pulang, kepada yang abadi, kepada kenangan. Dan rumah merupakan ruang sosial pertama yang mengajarkan peran masing-masing individu dalam satu organisasi bernama keluarga dengan sistem kuasa bernama kekeluargaan. Kolya menyadari itu semua dalam kesendirian, dalam kesunyian.


LEVIATHAN (2014) - Directed by; Andrey Zvyagintsev. Produced by; Alexander Rodnyansky. Written by; Andrey Zvyagintsev, Oleg Negin. Starring: Alexei Serebriakov, Elena Lyadova, Roman Madyanov, Vladimir Vdovichenkov. Release date: 23 May 2014 (Cannes), 5 February 2015 (Russia). Duration: 141 minutes. Ratings: 8/10

Tidak ada komentar:

Posting Komentar