Andrei Zvyagintsev tak terlalu pusing dengan kritik
tajam dan upaya pemerintah Rusia melarang Leviathan
beredar di seluruh bioskop Negeri Beruang Merah. Menteri Kebudayaan Rusia
berhak marah karena memang memiliki ‘saham’ dalam penggarapan film tersebut.
Kremlin mendonorkan 30 persen modal pembuatan film yang menghabiskan dana 220
juta Rubel itu. Kendati demikian, Leviathan
sukses di berbagai festival film internasional dan mendapat sambutan hangat
para penikmat seni peran. Bagi Andrei, tugas kebudayaannya cukup maksimal untuk
membangkitkan kesadaran saudara sebangsanya sekaligus menyentil Kremlin yang
makin hari makin serakah, setidaknya jika dilihat dari fenomena belakangan ini.
Rusia di bawah kepemimpinan Vladimir Putin memang
tengah bergelora. Putin mendaulat dirinya sebagai suksesor Stalin dan ingin
menjadikan Moskow sebagai anak sulung yang bertanggung jawab membangkitkan nama
harum bapaknya, Uni Soviet. Setidaknya Putin sukses mencaplok Semenanjung
Krimea dari Ukraina, adik kandung pengkhianat yang kini berkongsi dengan Barat.
Etnisitas menjadi senjata ampuh
Rusia. Dengan alasan yang dibuat-buat, Tirai Besi mencoba menarik kembali
wilayah berpenduduk bahasa Rusia berada di bawah Kremlin. Donetsk dan Luhansk
masih membara, negara lain pecahan Soviet pun was-was.
Agresivitas Kremlin menjadi inti cerita Leviathan. Berbeda dengan halaman media
massa, Zvyagintsev menawarkan sudut pandang lain. Sutradara Elena (2003) itu menerjemahkan
kesewenang-wenangan Kremlin dan kaki tangannya dengan korupsi berwujud pencaplokan
tanah warga. Hukum menjadi pisau penikam warga miskin yang dipegang penguasa.
Pribrezhnyy sejatinya kuburan. Kota dermaga itu
hanya menyisakan bangkai kapal-kapal besar bersanding belulang raksasa makhluk
laut yang terdampar di pantai, Sang Leviathan. Kehidupan tak lagi memuja
perairan. Dulu memang jaya. Ketika Uni Soviet belum porak poranda, teluk teduh
dilayari kapal-kapal besar penangkap ikan. Citra kejayaan masih tersimpan baik
di benak warga, pula di foto pudar kekuningan.
Laut Barents tak pernah mengamuk. Geraknya begitu
dingin, sedingin suhu airnya. Gelombang hanya sesekali menghantam bibir pantai.
Namun, cuaca kerap tak menentu. Hujan berderai di musim gugur yang tak pernah
damai. Kelabu. Awan-awan menghalangi sinar matahari, gunung menjulang habis dipapas
demi material bahan dasar pembangunan. Di sini, di Pribrezhnyy, sejauh mata
memandang minim tumbuhan. Di sini, di Pribrezhnyy, sedalam hidung menghirup,
hanya debu dan asin laut.
Tapi Pribrezhnyy kuburan bernisan bangga. Bagi
Kolya (Alexei Serebriakov), secuil tanah di hadapan muara adalah satu-satunya property
miliknya. Itu pun warisan turun-temurun. Pekerjaannya tak tetap meski andal
mengutak-atik mesin kendaraan. Istrinya, Lilia (Elena Lyadova), memang membantu
mencari penghasilan. Namun sekadar untuk makan dan sekolah Roma (Sergey
Pokhodaev), anak hasil perkawinan Kolya dengan istri pertama. Tak ayal, Kolya
meminta Dmitri (Vladimir Vdovichenkov) jadi kuasa hukumya melawan Walikota Pribrezhnyy bernama Vadim (Roman Madyanov)
yang hendak menganeksasi tanah secuil itu untuk kepentingan pribadi, alih-alih
negara.
Sebenarnya
Zvyagintsev dan Oleg Negin mengadopsi hikayat Marvin Heemeyer, warga Amerika
yang bernasib serupa Kolya. Influensi itu kemudian dikembangkan dengan plot
cerita keluarga karena Heemeyer tak berkeluarga. Kendati agak terbelah, ajaibnya
cerita keluarga menjadi bumbu melezatkan untuk menikmati karakteristik sosial
warga miskin pada umumnya. Cobaan demi cobaan yang dialami Kolya diasosiasikan
sehingga tampak riil dan bisa terjadi pada siapa saja. Bahwa tanah mesti
dipertahankan memang benar, namun masalah keluarga juga penting untuk dikelola
sehingga tak mengacaukan kehidupan sosial lainnya. Intrik keluarga itu terlihat
pertama kali kala Roma tak pernah berdamai dengan ibu tirinya, Lilia.
Aroma
ketidakberesan melebar justru ketika Kolya tengah digugat habis Walikota busuk.
Kesabaran Lilia berada di ujung tanduk. Dia makin merasa terasing karena Kolya
tak pernah mau mendengar sarannya. Bagi Lilia, sikap keras kepala suaminya
hanya membuat Vadim kian berkelit untuk merampas rumah dan tanah secuil warisan
mertuanya itu. Padahal, Vadim telah menawarkan sejumlah uang agar Kolya pergi
meskipun tawaran itu tak sesuai. Ditambah, kerjaan Kolya cuma mabuk dan
marah-marah. Di sisi lain Dmitri hadir menawarkan harapan. Celakanya, angan itu
sepaham dengan Lilia. Si flamboyan dengan percaya diri mampu mengalahkan Vadim.
Dia anggota firma hukum kesohor di Moskow yang meminta Vadim menaikkan tawaran
ganti rugi properti milik temannya. Tak cuma itu, keberadaanya juga menjadi
penawar rasa keterasingan sehingga Lilia mulai jatuh cinta.
Dmitri
memang pintar, tapi Vadim licik. Gelagat ketidakberesan itu merupakan celah
potensial bagi Vadim. Kasmaran seakan membutakan mata Dmitri. Kehebatan teman
menumbuhkan kejumawaan yang teramat dalam diri Kolya. Sementara Vadim terus
merancang strategi dengan menargetkan Lilia sebagai titik lemah. Sampai di
sini, bias gender seolah terasa. Penulis naskah seperti menyampingkan peran
perempuan yang ada dalam film. Anehnya, jawaban atas penyampingan itu tak mudah
digali. Satu sisi perempuan cuma pelengkap, di sisi lain perempuan punya daya
logis yang sengaja dibuat untuk mengkritik kentalnya budaya patriarki bangsa Slavia, mungkin sebenarnya secara umum. Perempuan,
dalam skema cerita Leviathan diciptakan
sebagai alat mencapai kekuasaan. Leviathan, dalam mitologi Yahudi, monster yang
suka membunuh dan mencegah perempuan memiliki kegemilangan masa depan.
Monster
berwujud Vadim itu dibikin lebih cerdik. Dia tahu bahwa Tuhan memerintahkan
wakilnya di Bumi untuk memenggal penguasa laut itu. Karenanya Sang Monster
berupaya mengajak damai para wakil Pemilik Kehidupan. Para uskup juga manusia
yang diciptakan dengan hawa nafsu. Mereka suka barang-barang antik dan
berbotol-botol anggur. Aneka kemewahan dunia itu melimpah di rumah Vadim. Maka
jelas ketika Vadim bimbang melawan ancaman Dmitri, uskup agung Pribrezhnyy
menyetujui rencana Walikota melenyapkan kepentingan Kolya. Dmitri bagai jatuh
tertimpa tangga, dihajar Kolya beserta teman-temannya karena kedapatan
berselingkuh dengan Lilia dan dihajar habis Walikota. Dmitri pulang dengan
kehampaan. Lilia masih punya ruang karena Kolya membuka lebar pintu maaf
baginya. Namun, perempuan itu malah tewas di bibir pantai tanpa diketahui oknum
penikamnya. Justru Kolya yang jadi terpidana. Kolya si tukang mabuk, Kolya
manusia paling depresif setelah ditinggal istri dan kekalahan menyakitkan,
hanya bisa menangis dan pasrah dibui.
Leviathan melempar jauh angan-angan penonton
agar plot berakhir happy. Andrei
menancapkan langsung pandangannya bahwa kuasa memang diciptakan dengan
pertarungan. Orang yang memiliki banyak senjata dan taktik jitu bakal merebut
kemenangan. Modal tekad atau keteguhan tok
jangan berharap banyak. Kemanusiaan hanya slogan sebab rasa kasihan muncul
setelah segalanya porak poranda.
Mungkin tak salah jika rumah disebut pangkal
sejarah. Pun tak perlu disangkal kalau rumah adalah sumbu masalah. Rumah bisa
menjadi zona nyaman, di sisi lain penjara menyesakkan. Dua sisi mata uang yang
mestinya tumbuh cerita, entah sedih atau bahagia, hingga wafat tetap jadi
hikayat. Kepada rumah sepantasnya kita pulang, kepada yang abadi, kepada
kenangan. Dan rumah merupakan ruang sosial pertama yang mengajarkan peran
masing-masing individu dalam satu organisasi bernama keluarga dengan sistem
kuasa bernama kekeluargaan. Kolya menyadari itu semua dalam kesendirian, dalam
kesunyian.
LEVIATHAN
(2014) - Directed by; Andrey Zvyagintsev. Produced by; Alexander
Rodnyansky. Written by; Andrey
Zvyagintsev, Oleg Negin. Starring: Alexei Serebriakov, Elena Lyadova, Roman Madyanov, Vladimir
Vdovichenkov. Release date: 23 May 2014 (Cannes), 5 February 2015 (Russia).
Duration: 141 minutes. Ratings: 8/10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar