ayo naek sing luhur, neng! |
Adik sepupu itu sudah besar, rupanya. Dia telah di
ujung bangku sekolah menengah atas. Sebentar lagi ikut ujian nasional. Seturut
kemudian dia bingung, apakah pendidikan harus dilanjutkan atau sudahi saja
dengan ijazah SMA?
Pikiran itu muncul bukan hanya dari dalam dirinya
melainkan juga dari ibunya, ya bibiku. Bibi, adik bontot ibu, juga kebingungan.
Bukan karena tak mau mendorong anaknya lompat ke perguruan tinggi, namun daya
yang dimilikinya memang terbatas.
Adik sepupu tidak jenius juga, tapi aku kira
kemauannya tinggi. Setidaknya dia bukan pemalas sepertiku. Di kelas bukan juara
satu, tapi guru-guru tak bisa lepas dari sepupuku itu, begitu aku dapat cerita.
Dia hanya bisa bertanya kepadaku, bagaimana? Aku
tak pikir panjang untuk berkata iya. Selanjutnya, kami membahas minat dan
bakatnya dalam pendidikan formal. Hanya itu yang kami bicarakan, selepasnya aku
suruh dia tak khawatirkan. Soal biaya jangan jadi beban.
Masih kuat ingatanku ketika dia masih berseragam
taman kanak-kanak. Saat itu aku sudah menengah atas. Dia anak kedua bibiku
setelah kakaknya hanya bertahan hidup dua tahun, kalau tidak salah. Perempuan,
sama seperti adik kandungku. Tapi dengan sepupu itu, aku merasa lebih dekat
ketimbang dengan satunya. Mungkin karena beda karakter saja. Adik kandungku
sangat pemalu, sepupuku tidak terlalu. Soal manja, keduanya sama. Semua
perempuan sepertinya ditakdirkan demikian.
Kami tumbuh di lingkungan yang jauh dari
ingar-bingar kota. Di desa yang begitu terpojok kami hidup. Menghadap tebing
tanah, menciumi bau kemangi di pelataran, melangkah terseok-seok di jalan batu
dengan aspal yang habis hanya dalam sebulan. Karakter desa tertinggal. Jangan
tanya kongkow di mana, ke warung pun hanya beli ikan asin. Jajan makanan ringan
membosankan, yang ada hanya itu-itu saja.
Tak ayal, pendidikan tinggi cuma mimpi. Kadang
terlihat melesat begitu cepat, sering tak tampak; terhalang awan kelabu
berwujud ketidakpastian. Begitu rumit. Sampai aku enggan mengurai permasalahan
itu. Intinya, pendidikan tinggi cuma ketidakpastian, titik. Soal kedunguan?
Bukan, soal pilihan.
Bagi bapak dan ibu, ketidakpastian itulah yang
membangkitkan hasrat mereka agar anak-anaknya bisa mencicipi bangku kuliah.
Setidaknya, dengan kuliah kami bisa tahu kehidupan selanjutnya yang awam bagi sebagian warga desa. Pun awam bagi
mereka.
Namun mereka tak jarang mengingatkan. Belajar bukan
berarti menghambur uang hingga sertifikat tanah lebur. Cukup melunasi
kewajiban, seadanya. Sabuk diperketat, semua biaya dikalkulasi, jangan sampai
uang habis untuk kampus, sedangkan makan tidak sama sekali hingga mampus.
Bermain sewajarnya, cukup kopi dan sebatang rokok – meskipun tak rela
menganjurkannya padaku.
Melanjutkan pendidikan berarti meluaskan
perkenalan. Punya teman beragam latar belakang, menimba ilmu dari segala
penjuru, bukan kurikulum melulu. Mengisi waktu dengan aneka cara, bermain,
belajar, bersenda gurau, atau berpacaran, mungkin. Melanjutkan pendidikan juga
merangkai terus lajur kehidupan. Menduga ujungnya seperti apa atau mengalir
saja seperti arus sungai. Seperti Nil, yang di gigirnya tumbuh peradaban sampai
runtuh pun selalu dikenang.
Adik sepupu itu kini menghadapi ujian kelanjutan,
alih-alih kelulusan. Langkahnya masih tegap. Jalan masih terlampau panjang
untuk ditapakinya. Sudut pandang masih tanpa jarak. Semoga aku bisa memberi
bekal untuk sekadar membasahi dahaga keingintahuannya. Semoga.
Selalu ada jalan kalau memang mau diusahakan, itu kata ibu aku waktu lagi bayarin kuliah (+maen) anaknya. :)))
BalasHapusNyahaha yang penting mau dulu ya Dy, untung juga sih sepupu urang mau, kalo males-malesan aing suruh nikah aja udah. Lanceukna iraha? Ahahah
BalasHapus