Pages

Selasa, 24 Februari 2015

SEPUPU

ayo naek sing luhur, neng!


Adik sepupu itu sudah besar, rupanya. Dia telah di ujung bangku sekolah menengah atas. Sebentar lagi ikut ujian nasional. Seturut kemudian dia bingung, apakah pendidikan harus dilanjutkan atau sudahi saja dengan ijazah SMA?


Pikiran itu muncul bukan hanya dari dalam dirinya melainkan juga dari ibunya, ya bibiku. Bibi, adik bontot ibu, juga kebingungan. Bukan karena tak mau mendorong anaknya lompat ke perguruan tinggi, namun daya yang dimilikinya memang terbatas.

Adik sepupu tidak jenius juga, tapi aku kira kemauannya tinggi. Setidaknya dia bukan pemalas sepertiku. Di kelas bukan juara satu, tapi guru-guru tak bisa lepas dari sepupuku itu, begitu aku dapat cerita.

Dia hanya bisa bertanya kepadaku, bagaimana? Aku tak pikir panjang untuk berkata iya. Selanjutnya, kami membahas minat dan bakatnya dalam pendidikan formal. Hanya itu yang kami bicarakan, selepasnya aku suruh dia tak khawatirkan. Soal biaya jangan jadi beban.

Masih kuat ingatanku ketika dia masih berseragam taman kanak-kanak. Saat itu aku sudah menengah atas. Dia anak kedua bibiku setelah kakaknya hanya bertahan hidup dua tahun, kalau tidak salah. Perempuan, sama seperti adik kandungku. Tapi dengan sepupu itu, aku merasa lebih dekat ketimbang dengan satunya. Mungkin karena beda karakter saja. Adik kandungku sangat pemalu, sepupuku tidak terlalu. Soal manja, keduanya sama. Semua perempuan sepertinya ditakdirkan demikian.

Kami tumbuh di lingkungan yang jauh dari ingar-bingar kota. Di desa yang begitu terpojok kami hidup. Menghadap tebing tanah, menciumi bau kemangi di pelataran, melangkah terseok-seok di jalan batu dengan aspal yang habis hanya dalam sebulan. Karakter desa tertinggal. Jangan tanya kongkow di mana, ke warung pun hanya beli ikan asin. Jajan makanan ringan membosankan, yang ada hanya itu-itu saja.

Tak ayal, pendidikan tinggi cuma mimpi. Kadang terlihat melesat begitu cepat, sering tak tampak; terhalang awan kelabu berwujud ketidakpastian. Begitu rumit. Sampai aku enggan mengurai permasalahan itu. Intinya, pendidikan tinggi cuma ketidakpastian, titik. Soal kedunguan? Bukan, soal pilihan.

Bagi bapak dan ibu, ketidakpastian itulah yang membangkitkan hasrat mereka agar anak-anaknya bisa mencicipi bangku kuliah. Setidaknya, dengan kuliah kami bisa tahu kehidupan selanjutnya yang awam  bagi sebagian warga desa. Pun awam bagi mereka.

Namun mereka tak jarang mengingatkan. Belajar bukan berarti menghambur uang hingga sertifikat tanah lebur. Cukup melunasi kewajiban, seadanya. Sabuk diperketat, semua biaya dikalkulasi, jangan sampai uang habis untuk kampus, sedangkan makan tidak sama sekali hingga mampus. Bermain sewajarnya, cukup kopi dan sebatang rokok – meskipun tak rela menganjurkannya padaku.

Melanjutkan pendidikan berarti meluaskan perkenalan. Punya teman beragam latar belakang, menimba ilmu dari segala penjuru, bukan kurikulum melulu. Mengisi waktu dengan aneka cara, bermain, belajar, bersenda gurau, atau berpacaran, mungkin. Melanjutkan pendidikan juga merangkai terus lajur kehidupan. Menduga ujungnya seperti apa atau mengalir saja seperti arus sungai. Seperti Nil, yang di gigirnya tumbuh peradaban sampai runtuh pun selalu dikenang.

Adik sepupu itu kini menghadapi ujian kelanjutan, alih-alih kelulusan. Langkahnya masih tegap. Jalan masih terlampau panjang untuk ditapakinya. Sudut pandang masih tanpa jarak. Semoga aku bisa memberi bekal untuk sekadar membasahi dahaga keingintahuannya. Semoga.


2 komentar:

  1. Selalu ada jalan kalau memang mau diusahakan, itu kata ibu aku waktu lagi bayarin kuliah (+maen) anaknya. :)))

    BalasHapus
  2. Nyahaha yang penting mau dulu ya Dy, untung juga sih sepupu urang mau, kalo males-malesan aing suruh nikah aja udah. Lanceukna iraha? Ahahah

    BalasHapus