Pages

Jumat, 28 Maret 2014

REPUBLIK MALING KUMBANG



via hyun

Namaku Kumambang. Orang-orang memanggilku Kumbang. Aku adalah takdir bagi para jalang miskin kasih sayang, aku garda depan cukong-cukong pengeruk keuntungan, dari proyek jalan, pusat perbelanjaan, angkutan, pembangunan. Aku senjata para tentara pendamba kuasa, aku pengumpul suara politikus-politikus rakus. Pelacur-pelacur langganan segan padaku. Aku royal. Bagiku, uang hanya alat tukar. Cukong-cukong mafhum anugerah kekebalan tubuh. Aku antibacok. Beribu-ribu maaf, jangankan pisau lipat, keris sakti berlumur darah kucing hitam pun tak mempan. Tentara dan duta siasat tepuk tangan.

Setan membekaliku ilmu, bara api di nyalang tatapku, amuk badai di gelegar suaraku. Malam minggu kliwon jadwal sesembahanku. Ketika lelaki remaja sibuk mengisap dara-dara ranum, aku terpekur di kepul asap kemenyan. Merapal mantra, mencari lagi ludah-ludah setan untuk bekal membantu para jalang dan cukong-cukong yang di otaknya cuma uang, tentara dan politikus yang tiap malam mimpi jabatan, kasihan. 

Kelaki-lakian bagiku adalah segalanya. Tubuh kekar dan kebal, kelamin besar dan tahan lama. Istri dan anak? Pernikahan hanya ungkapan kegelisahan manusia terhadap hubungan sosial. Aku mampu membuat anak, tapi enggan menikah. Penghulu tahu apa soal cinta dan adegan seks kalian. Meresmikan tali asmara tanpa memberikan tips memutus sumbu perceraian, aneh.

Pernah, kelompok yang menamakan dirinya komisi antirasuah berusaha mencomotku. Gara-gara, katanya, aku diduga membantu satu cukong yang merugikan negara. Kas pemerintah untuk merenovasi istana dan membeli puluhan kapal perang dari luar negeri, ludes. Bertriliun-triliun uang lenyap, pembangunan mandek di tengah jalan, kapal kepalang datang dengan kasbon, adapun Amung --begitu aku memanggil cukong itu— disebut-sebut kabur membawa pergi limpahan uang, yang konon, milik rakyat. Amung kongkalikong dengan kabinet. 

Sama sekali aku tak gelisah waktu penyidik menelisik keberadaanku. Mereka mencari rekeningku, padahal aku tak tahu perbankan. Aku kan royal, mengapa harus menabung? Polisi mencari tempat tinggalku, padahal aku tak punya rumah. Rumah itu penjara. Tempat pulang? Jalang-jalang cukup membuatku mengerang, membuka pintu kenikmatan dengan senang, aku menutupnya karena bosan. Tak perlulah aku membuat pintu dan jendela, lalu membuka dan menutupnya sendiri, orang gila macam apa!

Meski belum ada bukti, toh aku diundang juga ke gedung komisi. Katanya, mereka mau menanyakan rupa-rupa soal Amung. Soal dugaan perusahaan fiktif, jalinan kasih dengan tigabelas selebritas plus pengakuan remaja laki-laki yang pernah ditiduri, pertemanan Amung dengan para menteri. 

Dua hari lalu, aku melowongkan waktu datang ke gedung komisi. Penampilanku sederhana, jas merek Versaice yang kudengar paling mahal dan hanya ada di Eropa, sepatu kulit hitam terang antidebu, dasi panjang beledu, jam tangan Rolex bertabur permata yang tak sekalipun kulihat. Aku royal, aku mampu. Di dalam gedung, kulihat beberapa orang yang pernah punya hajat kepadaku. Penyidik sok bersih, resepsionis yang sering minta dihamili, petinggi lembaga yang butuh kursi. Kamera dan alat elektronik para pewarta di kanan-kiriku. Riuh pertanyaan mereka hidangkan. Aku hanya berkata; “Inilah aku, Kumbang Si Royal. Aku si mampu, aku berhala bagi maling, tuan rumah bagi si malang.”

Wartawan malah menimpaliku. “Hidup Kumbang. Matilah Presiden.” Aku lupa sudah berapa kali menebar recehan pada mereka. Dasar bodrek! 

Melangkah tegap aku ke dalam gedung. Di pintu berkaca bening aku dihadang. Ketua lembaga ingin foto bersama dahulu. Lihat, tak perlu menyanyi hingga bersimbah keringat atau berperan sebagai tukang bubur untuk jadi pesohor. Mata kamera, kilat cahaya, siaran televisi, mengabadikan rupaku. Tangan ketua lembaga dan tanganku berjabat erat, lengkung bibir kami memamerkan putih gigi, kami akrab.

Lantas, dibawanya aku ke ruang khusus kedap suara. Aku, sang ketua, dua wakilnya, lima penyidik dan dua petinggi polisi berada di dalamnya. Satu bundel pertanyaan disiapkan untuk mereka bacakan padaku. 

“Tuan Kumbang, bagaimana Amung bisa mendekati menteri ini, menteri itu, dan juru bicara presiden?” Wakil ketua I yang pertama kali bertanya padaku. Sepertinya ia getir.

“Bagaimana kau kenal aku? Itulah cara Amung bertemu dengan cecunguk-cecunguk itu.” Aku santai sambil merokok di ruangan. 

“Tuan, kami perlu bukti. Setidaknya alur cerita bagaimana Amung bisa bersekongkol dengan kabinet. Kami menduga Presiden dapat jatah. Kue-nya besar, tuan. Politikus di parlemen meremehkan kami. Dianggapnya kami antek orde ini, padahal kami juga tahu mereka penjilat, pecundang. Ayolah tuan!”

“Kalian masih saja cari aman. Ingat, Amung hanya anak petani yang bermimpi jadi kaya. Susah payah ia kuliah, mencari peruntungan dengan meninggalkan keluarganya yang mati kelaparan di desa. Kau teman satu angkatannya, kan? Kau tahu gelagat dia, kan? Amung cuma minta jatah dari negara yang telah merampas harta keluarga dan kerabatnya hingga berpuluh-puluh tahun di bawah garis kemiskinan. Sudahlah, kau tangkap saja Presiden sok suci itu.” 

“Tapi, kami perlu bukti, Tuan.”

“Lembaran bukti apalagi? Kehidupan mewah di Istana adalah bukti. Ke mana-mana naik jet milik rakyat juga bukti. Warga mengemis kepadaku karena bosan dengan demonstrasi yang tak didengar juga bukti. Korban banjir tinggalkan barak ungsi demi sapi juga bukti. Sudahlah, aku ingin keluar, aku ingin ngopi.” 

Aku keluar meninggalkan ruang kedap yang makin senyap. Mereka mungkin makin bingung. Masa bodolah aku, mulutku tak enak hanya dijejali asap tanpa kopi. Di luar, pewarta masih setia menunggu. Melihatku keluar, mereka buru-buru mendekat, melemparkan pertanyaan terkait pertemuan. Lagi-lagi, aku cuma berkata; “Inilah aku, Kumbang Si Royal. Aku si mampu, aku berhala bagi maling, tuan rumah bagi si malang.”

“Hidup Kumbang. Matilah Presiden.” 

Desas-desus kasus penggelapan anggaran dua proyek itu makin membesar. Nama Kumbang terus disebut komisi antirasuah. Komisi nampaknya terus menjalin koalisi untuk menyeretku ke pengadilan. Berlagak pilon mereka, tak sadar bahwa semua yang berkepentingan dengan negara ini bersujud di hadapanku. Si Ketua memang hanya diam, sebab sadar diri dengan utang budi yang sudah kuberi gratis agar dirinya bisa ke puncak lembaga sok suci itu. Dia juga tahu bahwa segala proyek di negara ini butuh pelicin, termasuk saat dirinya mengajakku mendesak pemerintah dan anggota dewan busuk mendirikan komisi antikorupsi. Bagiku, komisi itu bukan antikorupsi, tapi antre-korupsi.

Aku mendapat surat lagi. Dalam surat itu aku diwajibkan datang ke pengadilan karena telah ditetapkan sebagai saksi. Bisa-bisa aku ikut menjadi tersangka, jika anak buah Amung terus menyebut namaku, andai menteri selalu menyalahkanku, apabila politikus mencurigai keterlibatanku menggunakan uang anggaran, mendapat gratifikasi dari Amung dan kementerian, melakukan pencucian uang di tempat pelacuran. Surat panggilan dikirimkan tiga penyidik komisi ditemani dua polisi bersenjata lengkap, laras panjang di tangan, pistol revolver di ikat pinggang. Kepadaku, ketiga penyidik komisi mengaku bingung mencari tempat tinggal. Namun, berkat pengetahuan dua polisi yang mengawalnya, mereka sampai ke istanaku, rumah pelacuran paling murah di Ibu Kota. 

“Tak perlulah kalian beri undangan segala, memangnya ada yang sunatan? Eh tapi, memang komisi mau sunatan, kan? Nyunatin kabinet dan Presiden.” Mereka hanya tersenyum, kecut.

Aku datang ke pengadilan negeri kemarin, pagi-pagi buta. Majelis hakim nampaknya telat sekali. Anak buahku sudah menyemut di belakang, ratusan wartawan senang punya objek laporan. Rombongan majelis hakim akhirnya datang setelah sidang molor hampir satu jam. Mereka langsung ke meja hijau dan menyapa ruang sidang. Namaku dipanggil, persidangan akan dimulai. Dipersilakannya aku duduk di kursi tempat para saksi, tersangka, terdakwa, yang diduga melanggar hukum, dijejali pertanyaan. Aku datang tanpa pengacara, penggangguran banyak acara. 

“Tuan Kumbang, benarkah Anda teman akrab Amung?” Mata hakim tak berani menatapku, takut kisah permainannya dengan gadis SMA terendus media. Kepadakulah hakim takut istri itu minta perlindungan.

“Benar, Yang Mulia.” Cuih! Aku meludah dalam ruang. Persetan.

“Maaf Tuan Kumbang, apakah tuan mengetahui hubungan Amung dengan para menteri dan jubir presiden?”

“Nggak. Ngapain ngurusin itu? Yang aku urus cuma melindungi Amung, masalah pertemanannya dengan kabinet, aku gak ikut campur. Aku hanya melindungi usaha keras Amung merebut kembali apa yang dirampas negara darinya dan orang-orang desa. Masa orang desa gak boleh mengambil kembali apa yang dulu dia miliki? Masa harus jadi presiden dulu, jadi menteri dulu, politisi.” 

“Tapi, Amung mencuri uang negara, tuan. Dan...”

“Heh, hakim cabul! Jelaskan dulu padaku apa itu mencuri dan mengambil? Menghamili bocah dengan iming-iming duit itu mengambil apa mencuri? Coba jelaskan!” 

“Hidup Kumbang, matilah Presiden.” Gemuruh ruang sidang mengelu-elukan namaku. Majelis hakim bisik-bisik.

“Baiklah, penjelasan Tuan Kumbang dalam persidangan kali ini cukup bukti untuk majelis hakim meneruskan laporan ke Mahkamah Tinggi bahwa Presiden dan kabinet diduga melakukan tindak pidana korupsi melalui atau bersama Amung. Dengan demikian, sidang ini saya tutup. Tok, tok...” Palu diketuk, ruang sidang histeris. Wanita-wanitaku berhamburan menghampiriku, menciumiku dengan gincu tebal di bibirnya. Semua senang, semua menang.
 

Tak butuh lama, Mahkamah Tinggi menjatuhkan vonis bersalah pada Presiden dan sejumlah menteri. Laporan pertanggungjawan presiden jelas ditolak parlemen. Kepala negara dilengserkan, orde pun tumbang. 

Hari ini, parlemen menggelar sidang paripurna untuk menetapkan tanggal pemilihan umum secepatnya. Sebab, Wakil Presiden tiba-tiba gila dan bunuh diri di kamar mandi menggunting kelaminnya yang memang sudah lama membusuk. Ia tak korupsi memang, tapi menerima gratifikasi di tempat-tempat pelacuran. Dia ogah pakai kondom. Bukan cuma anggota dewan dan wakil daerah yang diundang, dukun-dukun yang sebagian besar seperguruan denganku pun dihadirkan untuk mencari weton baik, membaca gerak bintang dan cuaca agar negara selaras dengan semesta.

Sementara, koran dan televisi meraup untung dari oplah dan rating-share. Kebanyakan mereka memajang foto dan profilku di laman utama dengan judul yang aneh pula, Republik Maling Kumbang, contohnya. Haha, akhirnya mereka tahu siapa aku sebenarnya. Aku Kumbang, aku Royal, aku mampu. Tak usahlah aku jadi raja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar