via hyun |
Namaku Kumambang.
Orang-orang memanggilku Kumbang. Aku adalah takdir bagi para jalang miskin
kasih sayang, aku garda depan cukong-cukong pengeruk keuntungan, dari proyek
jalan, pusat perbelanjaan, angkutan, pembangunan. Aku senjata para tentara
pendamba kuasa, aku pengumpul suara politikus-politikus rakus. Pelacur-pelacur
langganan segan padaku. Aku royal. Bagiku, uang hanya alat tukar. Cukong-cukong
mafhum anugerah kekebalan tubuh. Aku antibacok. Beribu-ribu maaf, jangankan
pisau lipat, keris sakti berlumur darah kucing hitam pun tak mempan. Tentara
dan duta siasat tepuk tangan.
Setan membekaliku ilmu, bara api di nyalang tatapku, amuk badai di gelegar suaraku. Malam minggu kliwon jadwal sesembahanku. Ketika lelaki remaja sibuk mengisap dara-dara ranum, aku terpekur di kepul asap kemenyan. Merapal mantra, mencari lagi ludah-ludah setan untuk bekal membantu para jalang dan cukong-cukong yang di otaknya cuma uang, tentara dan politikus yang tiap malam mimpi jabatan, kasihan.
Setan membekaliku ilmu, bara api di nyalang tatapku, amuk badai di gelegar suaraku. Malam minggu kliwon jadwal sesembahanku. Ketika lelaki remaja sibuk mengisap dara-dara ranum, aku terpekur di kepul asap kemenyan. Merapal mantra, mencari lagi ludah-ludah setan untuk bekal membantu para jalang dan cukong-cukong yang di otaknya cuma uang, tentara dan politikus yang tiap malam mimpi jabatan, kasihan.
Kelaki-lakian bagiku
adalah segalanya. Tubuh kekar dan kebal, kelamin besar dan tahan lama. Istri
dan anak? Pernikahan hanya ungkapan kegelisahan manusia terhadap hubungan
sosial. Aku mampu membuat anak, tapi enggan menikah. Penghulu tahu apa soal
cinta dan adegan seks kalian. Meresmikan tali asmara tanpa memberikan tips
memutus sumbu perceraian, aneh.
Pernah, kelompok yang
menamakan dirinya komisi antirasuah berusaha mencomotku. Gara-gara, katanya,
aku diduga membantu satu cukong yang merugikan negara. Kas pemerintah untuk
merenovasi istana dan membeli puluhan kapal perang dari luar negeri, ludes. Bertriliun-triliun
uang lenyap, pembangunan mandek di tengah jalan, kapal kepalang datang dengan
kasbon, adapun Amung --begitu aku memanggil cukong itu— disebut-sebut kabur
membawa pergi limpahan uang, yang konon, milik rakyat. Amung kongkalikong
dengan kabinet.
Sama sekali aku tak
gelisah waktu penyidik menelisik keberadaanku. Mereka mencari rekeningku,
padahal aku tak tahu perbankan. Aku kan royal, mengapa harus menabung? Polisi
mencari tempat tinggalku, padahal aku tak punya rumah. Rumah itu penjara.
Tempat pulang? Jalang-jalang cukup membuatku mengerang, membuka pintu kenikmatan
dengan senang, aku menutupnya karena bosan. Tak perlulah aku membuat pintu dan
jendela, lalu membuka dan menutupnya sendiri, orang gila macam apa!
Meski belum ada bukti,
toh aku diundang juga ke gedung komisi. Katanya, mereka mau menanyakan
rupa-rupa soal Amung. Soal dugaan perusahaan fiktif, jalinan kasih dengan
tigabelas selebritas plus pengakuan remaja laki-laki yang pernah ditiduri,
pertemanan Amung dengan para menteri.
Dua hari lalu, aku
melowongkan waktu datang ke gedung komisi. Penampilanku sederhana, jas merek
Versaice yang kudengar paling mahal dan hanya ada di Eropa, sepatu kulit hitam
terang antidebu, dasi panjang beledu, jam tangan Rolex bertabur permata yang
tak sekalipun kulihat. Aku royal, aku mampu. Di dalam gedung, kulihat beberapa
orang yang pernah punya hajat kepadaku. Penyidik sok bersih, resepsionis yang
sering minta dihamili, petinggi lembaga yang butuh kursi. Kamera dan alat
elektronik para pewarta di kanan-kiriku. Riuh pertanyaan mereka hidangkan. Aku
hanya berkata; “Inilah aku, Kumbang Si Royal. Aku si mampu, aku berhala bagi
maling, tuan rumah bagi si malang.”
Wartawan malah
menimpaliku. “Hidup Kumbang. Matilah Presiden.” Aku lupa sudah berapa kali
menebar recehan pada mereka. Dasar bodrek!
Melangkah tegap aku ke
dalam gedung. Di pintu berkaca bening aku dihadang. Ketua lembaga ingin foto
bersama dahulu. Lihat, tak perlu menyanyi hingga bersimbah keringat atau
berperan sebagai tukang bubur untuk jadi pesohor. Mata kamera, kilat cahaya,
siaran televisi, mengabadikan rupaku. Tangan ketua lembaga dan tanganku
berjabat erat, lengkung bibir kami memamerkan putih gigi, kami akrab.
Lantas, dibawanya aku ke
ruang khusus kedap suara. Aku, sang ketua, dua wakilnya, lima penyidik dan dua
petinggi polisi berada di dalamnya. Satu bundel pertanyaan disiapkan untuk
mereka bacakan padaku.
“Tuan Kumbang, bagaimana
Amung bisa mendekati menteri ini, menteri itu, dan juru bicara presiden?” Wakil
ketua I yang pertama kali bertanya padaku. Sepertinya ia getir.
“Bagaimana kau kenal
aku? Itulah cara Amung bertemu dengan cecunguk-cecunguk itu.” Aku santai sambil
merokok di ruangan.
“Tuan, kami perlu bukti.
Setidaknya alur cerita bagaimana Amung bisa bersekongkol dengan kabinet. Kami
menduga Presiden dapat jatah. Kue-nya besar, tuan. Politikus di parlemen
meremehkan kami. Dianggapnya kami antek orde ini, padahal kami juga tahu mereka
penjilat, pecundang. Ayolah tuan!”
“Kalian masih saja cari
aman. Ingat, Amung hanya anak petani yang bermimpi jadi kaya. Susah payah ia
kuliah, mencari peruntungan dengan meninggalkan keluarganya yang mati kelaparan
di desa. Kau teman satu angkatannya, kan? Kau tahu gelagat dia, kan? Amung cuma
minta jatah dari negara yang telah merampas harta keluarga dan kerabatnya
hingga berpuluh-puluh tahun di bawah garis kemiskinan. Sudahlah, kau tangkap
saja Presiden sok suci itu.”
“Tapi, kami perlu bukti,
Tuan.”
“Lembaran bukti apalagi?
Kehidupan mewah di Istana adalah bukti. Ke mana-mana naik jet milik rakyat juga
bukti. Warga mengemis kepadaku karena bosan dengan demonstrasi yang tak
didengar juga bukti. Korban banjir tinggalkan barak ungsi demi sapi juga bukti.
Sudahlah, aku ingin keluar, aku ingin ngopi.”
Aku keluar meninggalkan
ruang kedap yang makin senyap. Mereka mungkin makin bingung. Masa bodolah aku,
mulutku tak enak hanya dijejali asap tanpa kopi. Di luar, pewarta masih setia
menunggu. Melihatku keluar, mereka buru-buru mendekat, melemparkan pertanyaan
terkait pertemuan. Lagi-lagi, aku cuma berkata; “Inilah aku, Kumbang Si Royal.
Aku si mampu, aku berhala bagi maling, tuan rumah bagi si malang.”
“Hidup Kumbang. Matilah Presiden.”
Desas-desus kasus
penggelapan anggaran dua proyek itu makin membesar. Nama Kumbang terus disebut
komisi antirasuah. Komisi nampaknya terus menjalin koalisi untuk menyeretku ke
pengadilan. Berlagak pilon mereka, tak sadar bahwa semua yang berkepentingan
dengan negara ini bersujud di hadapanku. Si Ketua memang hanya diam, sebab
sadar diri dengan utang budi yang sudah kuberi gratis agar dirinya bisa ke
puncak lembaga sok suci itu. Dia juga tahu bahwa segala proyek di negara ini
butuh pelicin, termasuk saat dirinya mengajakku mendesak pemerintah dan anggota
dewan busuk mendirikan komisi antikorupsi. Bagiku, komisi itu bukan
antikorupsi, tapi antre-korupsi.
Aku mendapat surat lagi.
Dalam surat itu aku diwajibkan datang ke pengadilan karena telah ditetapkan
sebagai saksi. Bisa-bisa aku ikut menjadi tersangka, jika anak buah Amung terus
menyebut namaku, andai menteri selalu menyalahkanku, apabila politikus
mencurigai keterlibatanku menggunakan uang anggaran, mendapat gratifikasi dari
Amung dan kementerian, melakukan pencucian uang di tempat pelacuran. Surat
panggilan dikirimkan tiga penyidik komisi ditemani dua polisi bersenjata
lengkap, laras panjang di tangan, pistol revolver di ikat pinggang. Kepadaku,
ketiga penyidik komisi mengaku bingung mencari tempat tinggal. Namun, berkat
pengetahuan dua polisi yang mengawalnya, mereka sampai ke istanaku, rumah
pelacuran paling murah di Ibu Kota.
“Tak perlulah kalian
beri undangan segala, memangnya ada yang sunatan? Eh tapi, memang komisi mau
sunatan, kan? Nyunatin kabinet dan Presiden.” Mereka hanya tersenyum, kecut.
Aku datang ke pengadilan
negeri kemarin, pagi-pagi buta. Majelis hakim nampaknya telat sekali. Anak
buahku sudah menyemut di belakang, ratusan wartawan senang punya objek laporan.
Rombongan majelis hakim akhirnya datang setelah sidang molor hampir satu jam.
Mereka langsung ke meja hijau dan menyapa ruang sidang. Namaku dipanggil,
persidangan akan dimulai. Dipersilakannya aku duduk di kursi tempat para saksi,
tersangka, terdakwa, yang diduga melanggar hukum, dijejali pertanyaan. Aku datang
tanpa pengacara, penggangguran banyak acara.
“Tuan Kumbang, benarkah
Anda teman akrab Amung?” Mata hakim tak berani menatapku, takut kisah permainannya
dengan gadis SMA terendus media. Kepadakulah hakim takut istri itu minta
perlindungan.
“Benar, Yang Mulia.”
Cuih! Aku meludah dalam ruang. Persetan.
“Maaf Tuan Kumbang, apakah tuan mengetahui
hubungan Amung dengan para menteri dan jubir presiden?”
“Nggak. Ngapain ngurusin
itu? Yang aku urus cuma melindungi Amung, masalah pertemanannya dengan kabinet,
aku gak ikut campur. Aku hanya melindungi usaha keras Amung merebut kembali apa
yang dirampas negara darinya dan orang-orang desa. Masa orang desa gak boleh
mengambil kembali apa yang dulu dia miliki? Masa harus jadi presiden dulu, jadi
menteri dulu, politisi.”
“Tapi, Amung mencuri
uang negara, tuan. Dan...”
“Heh, hakim cabul!
Jelaskan dulu padaku apa itu mencuri dan mengambil? Menghamili bocah dengan
iming-iming duit itu mengambil apa mencuri? Coba jelaskan!”
“Hidup Kumbang, matilah
Presiden.” Gemuruh ruang sidang mengelu-elukan namaku. Majelis hakim
bisik-bisik.
“Baiklah, penjelasan
Tuan Kumbang dalam persidangan kali ini cukup bukti untuk majelis hakim
meneruskan laporan ke Mahkamah Tinggi bahwa Presiden dan kabinet diduga
melakukan tindak pidana korupsi melalui atau bersama Amung. Dengan demikian,
sidang ini saya tutup. Tok, tok...” Palu diketuk, ruang sidang histeris.
Wanita-wanitaku berhamburan menghampiriku, menciumiku dengan gincu tebal di
bibirnya. Semua senang, semua menang.
Tak butuh lama, Mahkamah Tinggi menjatuhkan vonis bersalah pada Presiden dan sejumlah menteri. Laporan pertanggungjawan presiden jelas ditolak parlemen. Kepala negara dilengserkan, orde pun tumbang.
Tak butuh lama, Mahkamah Tinggi menjatuhkan vonis bersalah pada Presiden dan sejumlah menteri. Laporan pertanggungjawan presiden jelas ditolak parlemen. Kepala negara dilengserkan, orde pun tumbang.
Hari ini, parlemen
menggelar sidang paripurna untuk menetapkan tanggal pemilihan umum secepatnya.
Sebab, Wakil Presiden tiba-tiba gila dan bunuh diri di kamar mandi menggunting
kelaminnya yang memang sudah lama membusuk. Ia tak korupsi memang, tapi
menerima gratifikasi di tempat-tempat pelacuran. Dia ogah pakai kondom. Bukan
cuma anggota dewan dan wakil daerah yang diundang, dukun-dukun yang sebagian
besar seperguruan denganku pun dihadirkan untuk mencari weton baik, membaca
gerak bintang dan cuaca agar negara selaras dengan semesta.
Sementara, koran dan
televisi meraup untung dari oplah dan rating-share. Kebanyakan mereka memajang foto
dan profilku di laman utama dengan judul yang aneh pula, Republik Maling
Kumbang, contohnya. Haha, akhirnya mereka tahu siapa aku sebenarnya. Aku
Kumbang, aku Royal, aku mampu. Tak usahlah aku jadi raja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar