Pages

Minggu, 16 Februari 2014

MATA SENJA



Tak ada yang salah memang dengan matamu. Bahkan, biasa, kataku. Tapi harus aku akui, caramu memandangku membuat tubuh ini menggigil lesu. Gila, ini gila. Matamu bagai mata air, yang menggumpalkan bening jiwa, sumber penyegaran kala diriku bosan. Seakan matamu mengajakku berenang, membersihkan tubuhku dari luka-luka bekas sayatan ribuan wanita yang menaburkan kebohongan, menidurkanku di manis pangkuan, lantas meninggalkanku begitu saja seolah tak peduli, memang sepertinya demikian.

Atau matamu matahari. Bisa jadi. Matamu menyimpan bara api yang memantik gugahku kala pandang kita menepi. Matamu adalah sumber cahaya, bagi laki-laki miskin kasih manja. Jika matamu menggolakkan api asmara, sudikah kiranya jentik lahar kau uarkan sedikit saja. Biarkan hangat menyelimutiku yang sudah lama dingin terhadap wanita, dirundung beku langut bahagia. Panas delikmu bisa kuhimpun menjadi peluru bagi wanita-wanita yang dulu menaburkan kebohongan, menidurkanku di manis pangkuan, lantas meninggalkanku begitu saja seolah tak peduli, sungguh aku dendam. 

Mungkin matamu mata angin. Penunjuk arah bagi laki-laki petualang yang tak jua menemukan tempat nyaman untuk pulang. Amuk badai di marah matamu membuatku takut seenaknya melanglang, kerling nakal itu bikin aku mematung – menyerah begitu saja pada cumbu pandang. Jika pun matamu mudah mencari arah, tapi apa daya, aku lebih baik terbenam di sumbunya. Jangan suruh aku mengais gairah dari wanita lain yang cuma menaburkan kebohongan, menidurkanku di manis pangkuan, lantas meninggalkanku begitu saja seolah tak peduli, tak bisa aku bayangkan.

Tapi, matamu penuh airmata. Mata itu juga mata-mata. Sejak kapan kau lumpuhkan para pemuja hingga tangis tak luruh juga? Kau pikir bahagia hanya canda, lepas tawa hingga menggema, sedang kelopak menyangkal segala derita. Nyatanya, matamu juga menaburkan kebohongan, melelapkanku di manis pandangan, lantas mencampakkanku tanpa kerlingan, nantinya. 

Mata kecil mengiris senja jadi dua
Senja sendu, senja gurau
Mata pudar di luruh masa
Menanti cahaya meremas pupilnya
Senja sendu mati kutu
Hilang tawa dendam memburu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar