Pages

Minggu, 22 Januari 2017

KUTUKAN RAJIMAN



londo



Rajiman pontang-panting mendengar kabar istrinya mau melahirkan. Kabar itu didapatnya dari Useng, pemikat burung yang bertemu dengannya di hutan pagi itu saat Rajiman mencari daun poh-pohan. Kata Useng, istri Rajiman mengerang-erang hanya berteman mertua. Belum ada Mak Jinah atau bidan Sri. Ini kesempatanku punya anak, cuma itu yang ada di pikiran Jiman. 

Dia dan istrinya sudah tiga kali kehilangan buah hati. Anak pertama mati umur satu bulan setelah terkena disentri. Anak kedua, Lastri, juga meninggal seusai diserang kolera. Anak ketiganya bahkan mengembuskan napas terakhir di pangkuan Jiman beberapa jam seusai lahir. Orang-orang bilang, Jiman kena kutukan temurun dari orang tuanya.

Cerita itu sudah diketahui hampir oleh semua orang desa. Rajiman terlimpahkan kutukan. Ayah dan ibu Jiman dulu penghamba lelembut.  Jiman merupakan bungsu yang lahir saat kedua orang tuanya sedang jaya. Namun, Jiman merasa tak pernah menjadi orang terkaya dan terpandang di desanya. Rumah keluarga Jiman paling luas, paling terang.

Prahara melanda keluarga tepat di umur dua tahun Jiman. Kakak pertama mati setelah dipatuk ular weling saat pulang dari diskotik. Tubuhnya membusuk di depan rumah. Desa pun geger. Tiga bulan kemudian, dua kakak lainnya diserang penyakit aneh bersamaan. Tubuh mereka penuh bentol. Pecah mengeluarkan darah dan nanah. Rumah sakit tak bisa apa-apa. Dua kakak Jiman pun mati dengan kulit cekung di mana-mana, menyisakan tulang.

Harta ludes seketika. Ayah Jiman jadi gila. Kegilaannya tak bisa disembuhkan. Dukun dari berbagai desa bilang jiwa suami Karsih sudah hilang. Yang bertengger di raganya adalah Buta Hejo. Karsih pun mati oleh Si Buta Hejo. Jasadnya tercabik-cabik. Hingga kini tak ada yang tahu di mana ayah Jiman berjiwa Buta Hejo itu berada. Dia pergi ke selatan dengan tubuh besar nan biru. 

Jiman bukan tak tahu riwayat itu. Jiman malah jadi bahan olokan. Jiman bukannya tak pernah sakit hati. "Jika kamu marah, hanya membuat mereka makin gila. Jangan turunkan kegilaan orang tuamu," kata Mang Dirga.

Tapi, semua orang mengaku jika Jiman adalah anak beruntung. Saat persekutuan orang tuanya dan dedemit berubah jadi bencana, Karsih sering membawa Jiman ke rumah Mak Jinah, satu-satunya dukun beranak di kampung. Oleh Mak Jinah, tubuh mungil Jiman dimandikan kembang tujuh rupa tiap Selasa wage sambil dibacakan mantra putih. Untungnya lagi, bocah itu keburu dititipkan kepada Kang Dirga sebelum Karsih dicabik-cabik Buta Hejo. Mak Jinah yang pertama kali menyuruh Karsih mengungsikan bungsunya karena maut sudah di ujung mata. 

Jiman melihat sudah ada lima perempuan duduk-duduk di papangge rumahnya. Suara kejan Resmi telah terdengar. Suara penderitaan. Menyayat hati Jiman yang sudah tercabik-cabik kepiluan nasib. 

Jiman melihat di dalam rumah sudah ada Mak Jinah, bidan Sri, Modin Rustam, Mang Dirga dan Bi Suli. Jiman gagap. Dia cuma duduk mematung. Sementara istrinya diguyur keringat dan air mata menahan sakit mengeluarkan anaknya.

"Cepat kau ambil tiga lembar daun kelor dan tiga lembar daun pandan, Man." 

"Hei, cepat! Malah melongo."

"Bukannya untuk orang sekarat, Mak?" 

"Memangnya kau bisa memastikan istrimu atau anakmu bakal hidup? Mati atau lahir itu sama, menciptakan kehidupan baru. Ayo cepat ambil."

Tanpa bertanya lagi, Jiman langsung ke dapur untuk mencari apa yang diminta Mak Jinah.

"Bukan di dapur Man, dekat air, di irigasi!" bentak Bi Suli seakan sudah paham betul maksud Mak Jinah. 

Jiman tahu tabiat Bi Suli, cerewet. Tapi Jiman sangat sayang. Bergegas Jiman membawa celurit ke pinggir irigasi. Terus ke hulu, ia berpapasan dengan sosok laki-laki tua menuruni irigasi menuju sungai. Ia agak tak peduli, karena di pikirannya saat ini cuma satu; punya anak dan semoga panjang umur. Jiman akhirnya menemukan beberapa lembar daun kelor di tebing irigasi dan rimbun pandan agak jauh di pematang. Agak ragu Jiman menyabet daun pandan karena harus dekat air, tapi sawah juga sumber kehidupan dan berair, pikirnya.

Dua genggam tangannya sudah terisi pesanan Mak Jinah, Jiman cepat kembali ke rumah. Dia terusik lagi, siapa gerangan orang tua tadi yang belum pernah dilihatnya? Sejauh ingatannya, tak ada lelaki tua berparas tenang di kampung. Sebagian besar suram, miskin tiada henti. Pikiran itu membuat Jiman tak merasa sudah sampai rumah. Hanya jerit Resmilah yang menyentak kesadarannya. 

Daun kelor dan pandan langsung ia serahkan pada Mak Jinah. Jiman mendekat pada tangis Resmi. Dihapusnya air mata di ngarai pipi istrinya. Jiman tak bersuara, cinta menjalar di ibu jari yang mengurut alis tebal istrinya. Mak Jinah menyiapkan daun kelor dan pandan yang terlebih dahulu direndam air bening berhawa  mantra, Bidan Sri mengusap paha Resmi dengan minyak kelapa agar urat dan otot pasiennya lentur setelah dipaksa bertenaga. Modin Rustam juga sibuk. Lantun bait-bait suci terus dikumandang, berharap sejuta malaikat bertandang menolong putri semata wayang. Tapi rintangan nampaknya belum berakhir. Resmi kembali menjerit merasa jabang bayi hampir di ujung kelamin. Mak Jinah mengusap kelor di perut bunting Resmi. 

“Anaking sing nyaah ka nu ngandung, moal boa-moal boa ieu indung. Dewi Sri nyangga sia medal ka buana, bray caang nyinaran dunya. Mangga kasep sumping ka pihatur, mangga geulis linggih ka pimakmur.” 

“Wilujeng, wilujeng.” Cuma itu yang Jiman timpalkan seperti semua suara di rumahnya.

Resmi tak kuasa, bayinya belum mau bersua juga. Mak Jinah membiarkan daun kelor di atas perut Resmi yang masih menggelembung, lantas diambilnya tiga helai daun pandan dari rantang berisi air ajiannya untuk dikeprak ke pusar Resmi sembari menggumamkan lagi jampi-jampi. 

Entah untuk keberapa kalinya Resmi menghimpun tenaga untuk mendorong anaknya keluar. Jiman pun tak bisa menahan bendung tangisnya, matanya menatap perempuan kesayangannya, perih. 

“Keun cuang teundeun kakeuheul nu heubeul, keun cuang tunda kangewa tiheula. Cag anaking geura tandang milampah babarengan jeung indung bapa. Clik putih jatining bersih, clak herang jatining padang.” 

“Wilujeng, wilujeng.” 

Tak terasa matahari sudah di puncak ubun-ubun. Modin Rustam belum beranjak meski tabuh beduk membahana dari musala tempatnya melantunkan azan. Untuk hari ini dia absen dulu, Tuhan Maha Tahu, pikirnya.

“Pak Modin, sembahyang zuhur dulu, lalu istikharah-lah, minta petunjuk. Ajak Jiman dan Mang Dirga. Aku di kamar Resmi dulu, siapa tahu dapat gelagat. Biar Bi Suli dan Bidan Sri yang menjaga Resmi dan emaknya.”

Modin Rustam dan Mang Dirga kemudian pamit. Jiman tak tega meninggalkan istri di pangkuannya. Lelaki dua puluh tujuh tahun itu seperti ingin menyalurkan kekar otot dan besar tenaga untuk Resmi, bahkan ia berpikir untuk menggantikan istrinya. Lamunnya tak berlangsung lama sebab Mang Dirga memanggil Jiman untuk ikut sembahyang.

Modin jadi imam. Tak terasa Modin sudah awesalam. Ia lama menatap Jiman. “Ayo lanjut istikharah.”

Salat minta petunjuk rampung, Modin berbalik dengan nanar.
Bau asap kemenyan masih menusuk hidung. Mak Jinah juga belum keluar kamar. Dia belum mau memutuskan usaha selanjutnya untuk menyelamatkan Resmi dan anak di kandungannya. Pangkalnya adalah gelagat tak biasa yang sudah dua kali tergambar di kepala Mak. Gambar itu memang sudah terprediksi, tapi Mak harus yakin diri. 

“Mak” kata Modin Rustam seraya masuk kamar. Seakan tahu, Mak Jinah menyilakan Modin bersila di sisinya. 

“Pak Modin lihat cahaya putih?”

“Iya, Mak. Ada Jiman di sana. Bagaimana ini?” 

“Kalau memang sudah saatnya, mau bagaimana lagi? Mungkin ini jalan terakhir agar kau punya cucu dan Jiman bikin keturunan. Sebenarnya ini juga yang aku takutkan sejak dulu, Jiman dipaksa menanggung perbuatan orang tuanya, hidup sengsara, tak meninggalkan apa-apa. Semoga permintaan maaf menantumu bisa diterima.”

Modin tak bisa berkata apa-apa. Catatan sejarah menantunya memang memilukan. 

“Jiman, sini Jang.” Jiman beranjak meninggalkan Resmi yang belum siuman meski ditaburi ciuman.

Jang, kamu mau anakmu lahir dengan selamat kan? Emak dan mertuamu dapat gelagat yang sama. Jika kamu mau Resmi mengakhiri kesakitannya dan anakmu keluar dengan selamat, kau harus berusaha lebih. Kesabaran, Man, tak ada batas. Emak paham selama ini kamu berat, tapi kamu juga tahu cerita dulu-dulu. Semua ada tanggung jawabnya. Kamu memang orang terpilih untuk menanggung semua kesalahan orang tuamu dulu, karena ketabahanmu. Sekarang, kamu harus mengakhiri penderitaanmu dan membuat kehidupan baru.”

“Mak, Jiman enggak mengerti.” 

Mak Jinah tersenyum. Modin hanya bisa menunduk, lirih. “Man, kamu harus pergi ke Selatan, susuri sungai hingga ke hulu, temuilah yang telah menunggumu di sana. Dengan tabah dan kerendahan hati, minta maaflah atas semua kesalahan orang tua dan saudara-saudaramu. Dan yang paling penting, kamu juga harus merelakan semua yang terjadi terhadapmu, termasuk memaafkan ibu bapakmu.”

“Mak, Jiman mah sudah dari dulu memaafkan ibu dan bapak. Jiman akan laksanakan perintah Emak meskipun tak diberi kehidupan baru, seorang anak. Jiman merasa orang-orang di rumah ini hadiah paling besar, Mak.” 

Mak Jinah kembali tersenyum. Ia mendekati Jiman. Mencium kening sambil menyusupkan bacaan di ubun-ubun suami Resmi itu. “Siap-siaplah. Bawa kertas ini, bacalah di hulu sungai.”

Setelah berbenah diri, Jiman pamit. Satu per satu orang di rumah memeluk Jiman. Tapi Resmi masih belum siuman. Jiman menghampiri istrinya, mencium dan memeluknya.

“Resmi, akang pergi dulu. Yang kuat, ya, Neng. Selamatkan anak kita, kamu pasti bisa. Maafkan Akang yang membuatmu menderita,” Jiman tak bisa membendung tangisnya, termasuk Resmi, yang dalam tak sadarnya pun melepas air mata. 

Jiman juga mencium perut bunting Resmi. “Utun-inji, sing bagja. Kamu tak akan seperti bapak, kamu pasti bahagia.”

Dengan ketegaran luar biasa, Jiman mangkat. Menyusuri lagi irigasi dan menuruni tebing menuju sungai. Ia teringat lagi sosok lelaki tua yang berpapasan dengan dirinya beberapa jam tadi. Ingatannya itu membawa Jiman ingin menyusulnya. Mungkin pria itu yang dimaksud Mak Jinah, pikirnya. Jiman terus berjalan ke hulu, namun dia sadar tempat yang kini dilewatinya tak seperti jalan yang ditapakinya sejak kecil. Ia merasa asing. Pendar cahaya di tiap celah rimbun pepohonan memutih, menyamarkan pandangan sekelilingnya. Sungai yang biasa bergelora, tenang sebagaimana telaga. Tak henti Jiman melangkah. Makin hulu, makin senyap. Hening.

Sebaliknya, rumah Jiman justru ramai. Tangis bayi perempuan memecah kerinduan dan kepenatan. Tangis yang menimbulkan tangis lain, tangis bahagia bercampur kesedihan mendalam. Tangis kehidupan baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar