londo |
Rajiman pontang-panting mendengar kabar
istrinya mau melahirkan. Kabar itu didapatnya dari Useng, pemikat burung yang
bertemu dengannya di hutan pagi itu saat Rajiman mencari daun poh-pohan. Kata
Useng, istri Rajiman mengerang-erang hanya berteman mertua. Belum ada Mak Jinah
atau bidan Sri. Ini kesempatanku punya anak, cuma itu yang ada di pikiran
Jiman.
Dia dan istrinya sudah tiga kali
kehilangan buah hati. Anak pertama mati umur satu bulan setelah terkena
disentri. Anak kedua, Lastri, juga meninggal seusai diserang kolera. Anak
ketiganya bahkan mengembuskan napas terakhir di pangkuan Jiman beberapa jam
seusai lahir. Orang-orang bilang, Jiman kena kutukan temurun dari orang tuanya.
Cerita itu sudah diketahui hampir oleh
semua orang desa. Rajiman terlimpahkan kutukan. Ayah dan ibu Jiman dulu
penghamba lelembut. Jiman merupakan bungsu yang lahir saat kedua orang
tuanya sedang jaya. Namun, Jiman merasa tak pernah menjadi orang terkaya dan
terpandang di desanya. Rumah keluarga Jiman paling luas, paling terang.
Prahara melanda keluarga tepat di umur
dua tahun Jiman. Kakak pertama mati setelah dipatuk ular weling saat pulang
dari diskotik. Tubuhnya membusuk di depan rumah. Desa pun geger. Tiga bulan
kemudian, dua kakak lainnya diserang penyakit aneh bersamaan. Tubuh mereka
penuh bentol. Pecah mengeluarkan darah dan nanah. Rumah sakit tak bisa apa-apa.
Dua kakak Jiman pun mati dengan kulit cekung di mana-mana, menyisakan tulang.
Harta ludes seketika. Ayah Jiman jadi
gila. Kegilaannya tak bisa disembuhkan. Dukun dari berbagai desa bilang jiwa
suami Karsih sudah hilang. Yang bertengger di raganya adalah Buta Hejo. Karsih
pun mati oleh Si Buta Hejo. Jasadnya tercabik-cabik. Hingga kini tak ada yang
tahu di mana ayah Jiman berjiwa Buta Hejo itu berada. Dia pergi ke selatan
dengan tubuh besar nan biru.
Jiman bukan tak tahu riwayat itu. Jiman
malah jadi bahan olokan. Jiman bukannya tak pernah sakit hati. "Jika kamu
marah, hanya membuat mereka makin gila. Jangan turunkan kegilaan orang
tuamu," kata Mang Dirga.
Tapi, semua orang mengaku jika Jiman
adalah anak beruntung. Saat persekutuan orang tuanya dan dedemit berubah jadi
bencana, Karsih sering membawa Jiman ke rumah Mak Jinah, satu-satunya dukun
beranak di kampung. Oleh Mak Jinah, tubuh mungil Jiman dimandikan kembang tujuh
rupa tiap Selasa wage sambil dibacakan mantra putih. Untungnya lagi, bocah itu keburu
dititipkan kepada Kang Dirga sebelum Karsih dicabik-cabik Buta Hejo. Mak Jinah
yang pertama kali menyuruh Karsih mengungsikan bungsunya karena maut sudah di
ujung mata.
Jiman melihat sudah ada lima perempuan
duduk-duduk di papangge rumahnya.
Suara kejan Resmi telah terdengar. Suara penderitaan. Menyayat hati Jiman yang
sudah tercabik-cabik kepiluan nasib.
Jiman melihat di dalam rumah sudah ada
Mak Jinah, bidan Sri, Modin Rustam, Mang Dirga dan Bi Suli. Jiman gagap. Dia
cuma duduk mematung. Sementara istrinya diguyur keringat dan air mata menahan
sakit mengeluarkan anaknya.
"Cepat kau ambil tiga lembar daun
kelor dan tiga lembar daun pandan, Man."
"Hei, cepat! Malah melongo."
"Bukannya untuk orang sekarat,
Mak?"
"Memangnya kau bisa memastikan
istrimu atau anakmu bakal hidup? Mati atau lahir itu sama, menciptakan
kehidupan baru. Ayo cepat ambil."
Tanpa bertanya lagi, Jiman langsung ke
dapur untuk mencari apa yang diminta Mak Jinah.
"Bukan di dapur Man, dekat air, di
irigasi!" bentak Bi Suli seakan sudah paham betul maksud Mak Jinah.
Jiman tahu tabiat Bi Suli, cerewet. Tapi
Jiman sangat sayang. Bergegas Jiman membawa celurit ke pinggir irigasi. Terus
ke hulu, ia berpapasan dengan sosok laki-laki tua menuruni irigasi menuju
sungai. Ia agak tak peduli, karena di pikirannya saat ini cuma satu; punya anak
dan semoga panjang umur. Jiman akhirnya menemukan beberapa lembar daun kelor di
tebing irigasi dan rimbun pandan agak jauh di pematang. Agak ragu Jiman
menyabet daun pandan karena harus dekat air, tapi sawah juga sumber kehidupan
dan berair, pikirnya.
Dua genggam tangannya sudah terisi
pesanan Mak Jinah, Jiman cepat kembali ke rumah. Dia terusik lagi, siapa
gerangan orang tua tadi yang belum pernah dilihatnya? Sejauh ingatannya, tak
ada lelaki tua berparas tenang di kampung. Sebagian besar suram, miskin tiada
henti. Pikiran itu membuat Jiman tak merasa sudah sampai rumah. Hanya jerit
Resmilah yang menyentak kesadarannya.
Daun kelor dan pandan langsung ia
serahkan pada Mak Jinah. Jiman mendekat pada tangis Resmi. Dihapusnya air mata
di ngarai pipi istrinya. Jiman tak bersuara, cinta menjalar di ibu jari yang
mengurut alis tebal istrinya. Mak Jinah menyiapkan daun kelor dan pandan yang
terlebih dahulu direndam air bening berhawa
mantra, Bidan Sri mengusap paha Resmi dengan minyak kelapa agar urat dan
otot pasiennya lentur setelah dipaksa bertenaga. Modin Rustam juga sibuk.
Lantun bait-bait suci terus dikumandang, berharap sejuta malaikat bertandang
menolong putri semata wayang. Tapi rintangan nampaknya belum berakhir. Resmi
kembali menjerit merasa jabang bayi hampir di ujung kelamin. Mak Jinah mengusap
kelor di perut bunting Resmi.
“Anaking
sing nyaah ka nu ngandung, moal boa-moal boa ieu indung. Dewi Sri nyangga sia
medal ka buana, bray caang nyinaran dunya. Mangga kasep sumping ka pihatur,
mangga geulis linggih ka pimakmur.”
“Wilujeng,
wilujeng.” Cuma itu yang
Jiman timpalkan seperti semua suara di rumahnya.
Resmi tak kuasa, bayinya belum mau bersua
juga. Mak Jinah membiarkan daun kelor di atas perut Resmi yang masih
menggelembung, lantas diambilnya tiga helai daun pandan dari rantang berisi air
ajiannya untuk dikeprak ke pusar
Resmi sembari menggumamkan lagi jampi-jampi.
Entah untuk keberapa kalinya Resmi menghimpun
tenaga untuk mendorong anaknya keluar. Jiman pun tak bisa menahan bendung
tangisnya, matanya menatap perempuan kesayangannya, perih.
“Keun
cuang teundeun kakeuheul nu heubeul, keun cuang tunda kangewa tiheula. Cag
anaking geura tandang milampah babarengan jeung indung bapa. Clik putih
jatining bersih, clak herang jatining padang.”
“Wilujeng,
wilujeng.”
Tak terasa matahari sudah di puncak
ubun-ubun. Modin Rustam belum beranjak meski tabuh beduk membahana dari musala
tempatnya melantunkan azan. Untuk hari ini dia absen dulu, Tuhan Maha Tahu,
pikirnya.
“Pak Modin, sembahyang zuhur dulu, lalu
istikharah-lah, minta petunjuk. Ajak Jiman dan Mang Dirga. Aku di kamar Resmi
dulu, siapa tahu dapat gelagat. Biar Bi Suli dan Bidan Sri yang menjaga Resmi dan
emaknya.”
Modin Rustam dan Mang Dirga kemudian
pamit. Jiman tak tega meninggalkan istri di pangkuannya. Lelaki dua puluh tujuh
tahun itu seperti ingin menyalurkan kekar otot dan besar tenaga untuk Resmi,
bahkan ia berpikir untuk menggantikan istrinya. Lamunnya tak berlangsung lama
sebab Mang Dirga memanggil Jiman untuk ikut sembahyang.
Modin jadi imam. Tak terasa Modin sudah
awesalam. Ia lama menatap Jiman. “Ayo lanjut istikharah.”
Salat minta petunjuk rampung, Modin
berbalik dengan nanar.
Bau asap kemenyan masih menusuk hidung.
Mak Jinah juga belum keluar kamar. Dia belum mau memutuskan usaha selanjutnya
untuk menyelamatkan Resmi dan anak di kandungannya. Pangkalnya adalah gelagat
tak biasa yang sudah dua kali tergambar di kepala Mak. Gambar itu memang sudah
terprediksi, tapi Mak harus yakin diri.
“Mak” kata Modin Rustam seraya masuk
kamar. Seakan tahu, Mak Jinah menyilakan Modin bersila di sisinya.
“Pak Modin lihat cahaya putih?”
“Iya, Mak. Ada Jiman di sana. Bagaimana
ini?”
“Kalau memang sudah saatnya, mau
bagaimana lagi? Mungkin ini jalan terakhir agar kau punya cucu dan Jiman bikin
keturunan. Sebenarnya ini juga yang aku takutkan sejak dulu, Jiman dipaksa
menanggung perbuatan orang tuanya, hidup sengsara, tak meninggalkan apa-apa. Semoga
permintaan maaf menantumu bisa diterima.”
Modin tak bisa berkata apa-apa. Catatan
sejarah menantunya memang memilukan.
“Jiman, sini Jang.” Jiman beranjak meninggalkan Resmi yang belum siuman meski
ditaburi ciuman.
“Jang, kamu mau anakmu lahir dengan
selamat kan? Emak dan mertuamu dapat gelagat yang sama. Jika kamu mau Resmi
mengakhiri kesakitannya dan anakmu keluar dengan selamat, kau harus berusaha
lebih. Kesabaran, Man, tak ada batas. Emak paham selama ini kamu berat, tapi
kamu juga tahu cerita dulu-dulu. Semua ada tanggung jawabnya. Kamu memang orang
terpilih untuk menanggung semua kesalahan orang tuamu dulu, karena ketabahanmu.
Sekarang, kamu harus mengakhiri penderitaanmu dan membuat kehidupan baru.”
“Mak, Jiman enggak mengerti.”
Mak Jinah tersenyum. Modin hanya bisa
menunduk, lirih. “Man, kamu harus pergi ke Selatan, susuri sungai hingga ke
hulu, temuilah yang telah menunggumu di sana. Dengan tabah dan kerendahan hati,
minta maaflah atas semua kesalahan orang tua dan saudara-saudaramu. Dan yang
paling penting, kamu juga harus merelakan semua yang terjadi terhadapmu,
termasuk memaafkan ibu bapakmu.”
“Mak, Jiman mah sudah dari dulu memaafkan ibu dan bapak. Jiman akan laksanakan
perintah Emak meskipun tak diberi kehidupan baru, seorang anak. Jiman merasa
orang-orang di rumah ini hadiah paling besar, Mak.”
Mak Jinah kembali tersenyum. Ia mendekati
Jiman. Mencium kening sambil menyusupkan bacaan di ubun-ubun suami Resmi itu.
“Siap-siaplah. Bawa kertas ini, bacalah di hulu sungai.”
Setelah berbenah diri, Jiman pamit. Satu
per satu orang di rumah memeluk Jiman. Tapi Resmi masih belum siuman. Jiman
menghampiri istrinya, mencium dan memeluknya.
“Resmi, akang pergi dulu. Yang kuat, ya,
Neng. Selamatkan anak kita, kamu pasti bisa. Maafkan Akang yang membuatmu
menderita,” Jiman tak bisa membendung tangisnya, termasuk Resmi, yang dalam tak
sadarnya pun melepas air mata.
Jiman juga mencium perut bunting Resmi. “Utun-inji,
sing bagja. Kamu tak akan seperti bapak, kamu pasti bahagia.”
Dengan ketegaran luar biasa, Jiman
mangkat. Menyusuri lagi irigasi dan menuruni tebing menuju sungai. Ia teringat
lagi sosok lelaki tua yang berpapasan dengan dirinya beberapa jam tadi.
Ingatannya itu membawa Jiman ingin menyusulnya. Mungkin pria itu yang dimaksud
Mak Jinah, pikirnya. Jiman terus berjalan ke hulu, namun dia sadar tempat yang
kini dilewatinya tak seperti jalan yang ditapakinya sejak kecil. Ia merasa
asing. Pendar cahaya di tiap celah rimbun pepohonan memutih, menyamarkan
pandangan sekelilingnya. Sungai yang biasa bergelora, tenang sebagaimana
telaga. Tak henti Jiman melangkah. Makin hulu, makin senyap. Hening.
Sebaliknya, rumah Jiman justru ramai.
Tangis bayi perempuan memecah kerinduan dan kepenatan. Tangis yang menimbulkan
tangis lain, tangis bahagia bercampur kesedihan mendalam. Tangis kehidupan
baru.