Pages

Selasa, 03 Januari 2017

DANGAL YANG JANGGAL


Singkirkan bayang-bayang pohon tempat muda-mudi melepas canda sambil bernyanyi dimabuk cinta. Tak ada keindahan lembah berbunga di kaki Himalaya, nihil pertengkaran akibat terpaksa dijodohkan. Sebab Dangal jauh dari sekadar birahi dan kecup manis. Film besutan Aamir Khan itu menawarkan menu berbeda dari Bollywood lainnya. Nyanyiannya terdengar membakar, tariannya jauh dari gemulai. Agak keras sekaligus agak janggal. Gulat!

Dangal memang bicara kerinduan, tapi bukan soal kesepian. Ini perkara jadi juara, dahaga yang tak tuntas hanya dengan bersenggama.

Gulat memang bukan ingar-bingar. Jangan bandingkan dengan sepakbola atau balapan formula yang lebih kaya. Tak banyak perhitungan kapital menguntungkan dari salah satu cabang olahraga paling purba di jagat raya itu. Kompetisi seolah pengisi jeda waktu biar badan tetap fit. Tapi harus diakui, dalam olahraga, prestasi adalah legitimasi, sekecil apapun. Maka menjadi juara adalah angan olahragawan. Terlebih bagi India, negeri yang jauh dari kata digdaya, kecuali untuk beberapa cabang olahraga saja. Ya, sebelas-duabelaslah dengan Indonesia.

Ketika India selalu memuja kriket, kemudian sepakbola berusaha memanjakan mata dengan merumputnya para legenda dunia di kompetisi domestik, cabang gulatlah yang justru membuat warganya berderai air mata bangga. Saat itu 2010, tak dinyana, perempuan entah dari sudut mana jazirah India mampu merebut emas Commonwealth Games, sekaligus mendaulat dirinya sebagai pegulat perempuan pertama peraih emas bagi Negeri Barata.

Geeta Phogat namanya. Masih terbilang muda, kelahiran 1988. Namun, dia bukan perempuan sembarangan. Di bawah kerasnya sikap sang bapak, Mahavir Singh, Geeta -- bersama adiknya Babita -- menjelma berbeda dari teman perempuan sebaya di lingkungannya. Alih-alih menundukkan nasib pada nikah muda, Geeta dan Babita malah dilatih untuk lebih jago daripada para lelaki manapun di desanya oleh sang bapak. Kelakuan yang juga agak janggal bagi sekitarnya.

Mahavir cuma paham satu cara, gulat. Dunia yang dulu ia geluti bersama beberapa saudara, namun tak pernah dimenanginya. Amatiran yang tak pernah naik pangkat jadi profesional. Tapi memang bara tak juga padam dalam dirinya, kendati kedua buah hatinya 'cuma' perempuan, yang biasa dipandang sebelah mata oleh para tetangga. Mahavir tak peduli suara sumbang. Jenis kelamin baginya bukanlah halangan, karena potensi tak melulu soal anatomi. Ditambah, ia masih penasaran dengan yang namanya medali.

Mahavir juga paham, kedua bocahnya yang lembut dan cantik itu butuh latihan keras. Dia tak segan menceburkan Geeta dan Babita ke perairan dalam meski keduanya tidak bisa berenang. Menurutnya, naluri dan keberanian mampu melawan ketakukan. Tapi menjadi pemenang bukan cuma perkara berani, butuh juga taktik mumpuni. Dengan pengalaman dan pemahamannya sebagai pegulat, Mahavir ajarkan teori dan strategi agar anaknya mampu menyinambungkan otot dan pikiran.

Bekal bergizi membutuhkan pelengkap. Selain jadwal ketat dan sadar waktu, yang kerap dilakukan Mahavir terhadap kedua anaknya adalah rajin berdiskusi untuk menjaga amunisi dalam diri. Petuahnya pun jadi acuan, karena tiap omongannya menjadi serat menjaga semangat.

“Kamu harus berjuang agar orang mengingatmu. Kalau kamu cuma mendapatkan perak, di kemudian hari kamu akan dilupakan. Kalau kamu merebut emas, kamu akan jadi tauladan. Dan tauladan adalah penyematan, Nak, tak pernah dilupakan.”

+++

Mungkin Aamir Khan jadi orang paling capek dalam produksi Dangal. Bukan mengada-ada, Aamir adalah penanggung jawab utama karena perjalanan pembuatan film dibidani rumah produksinya. Plus, Aamir Khan adalah tokoh utama, si Mahavir. Ibarat kata, Aamir Khan adalah Tom Cruise di Mission Impossible. Dan Aamir sudah terlalu berat mengubah dirinya menjadi Mahavir, berat secara harfiah.

Kesan lucu, dungu, dan kekonyolan Aamir seketika lenyap di Dangal. Suami Kiran Rao itu justru sangat kolot. Mahavir adalah pribadi yang kaku, maka tak elok jika Aamir tampil seperti di 3 Idiots atau PK. Bukan cuma karakter, Aamir secara visi juga paruh baya. Badannya lebih dari berisi, kasarnya mah tambun. Meski demikian masih terawat dan masih berotot. Maklum, Mahavir adalah mantan pegulat yang aslinya pun tetap berurat.

Sementara Fatima Sana Shaikh kebalikannya. Sebagai Geeta Phogat, perempuan itu tak anggun sebagaimana aslinya. Dia dingin. Tak banyak bicara. Tapi tetap cantik sih. Berbeda ketika Geeta masih sering lari-larian dan berkelahi bersama Babita semasa kecil. Geeta masa itu (Zaira Washim) sangat asyik. Dia lucu, pandai menari dan menyanyi. Namun jangan disangka, dia juga lincah berkelahi meski melawan laki-laki.

Dangal sebenarnya ingin menegaskan soal persamaan hak jenis kelamin. Tapi sayang masih kurang tegas.

Gender memang masalah pelik di Hindustan. Perempuan masih dianggap tak 'bernyawa' meski Indira Gandhi pernah memimpin pemerintahan India. Diskriminasi terjadi di segala lini. India cuma menempati ranking 105 negara di dunia dengan tingkat emansipasi di bidang politik, pendidikan, kesehatan, dan ekonomi pada 2012. Bahkan, India kalah jauh dibanding Bangladesh (86), apalagi Srilanka (39).

Kasus pemerkosaan perempuan juga tergolong tinggi. Setidaknya, 34 ribu kasus pemerkosaan terjadi pada 2015 menurut Biro Nasional Pencatatan Kriminal (NCRB) India. Itu baru kasus yang tercatat setelah adanya laporan. Kebanyakan, kata biro itu, kasus pemerkosaan tidak dilaporkan karena banyak faktor, salah satunya korban malu dan merasa hina.

Sialnya, pesan bahwa perempuan bisa melawan dalam film ini masih bias. Perempuan memang bisa merebut emas, kalau lawannya perempuan lagi. Perempuan bisa menjadi kuat tapi tetap di bawah pengaruh laki-laki. Geeta sepertinya malah bernasib tak jauh dari teman-temannya yang dipaksa menikah muda. Geeta kehilangan waktu bermain karena ketatnya jadwal latihan si ayah. Geeta terpaksa keluar sekolah karena tak diberi dispensasi untuk ikutan kompetisi.

Penonjolan karakter sang bapak membuat film ini punya minus tersendiri meskipun sinematografi patut mendapat acungan jempol. Laju cerita juga terlalu mudah ditebak sehingga tidak berbeda dengan film berkategori sama. Jika dibandingkan dengan Rush (2013), Dangal tidak ada apa-apanya. Tapi bagi India, Dangal bisa menjadi cikal bakal. Dia berpotensi menurunkan jumlah perempuan yang dipaksa cepat-cepat ke penghulu di usia belia. Dangal juga bisa meningkatkan partisipasi perempuan di bidang olahraga agar berprestasi melebihi para lelaki. Dan Geeta adalah doa bagi perempuan-perempuan malang yang bingung dengan masa depan akibat jadi korban pemerkosaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar