Aku mencintaimu dengan ganjil, dengan sedikit
kekakuan dan banyak gelitik kecil. Bercanda nomor satu, tapi serius pun tak lantas
bikin kita seperti batu; diam tanpa kata lalu tenggelam dalam segala tanya. Karena
kita ganjil, selalu menemukan cara memainkan kerikil, juga mencari rasa hingga
sudut terpencil. Bersama. Saling memetik bunga di dada lalu tertawa begitu saja
ditabur serbuk sarinya.
Maaf jika aku mencintaimu dengan super aneh, tanpa gelisah
dan nihil resah. Malah berlagak pintar mengumbar cerita soal apa saja biar kamu
tidur dan mimpi indah; tentang teori hierarki kebutuhan Abraham Maslow yang
diceritakan seperti nyata namun berujung tanpa logika, bahwa si doi keturunan asli Cipatujah yang
mengarungi tiga samudera menuju Eropa. Yang bercerita, aneh sendiri. Yang
mendengar, mengernyitkan dahi. Tak mengapa, toh
kita tak sedang membuat cerita berseri.
Jadi, sabar-sabar saja jika aku mencintaimu agak
edan, memamerkan kebahagiaan lewat permainan ayam-ayaman; ibu jari berkelit
untuk saling mengalahkan, yang keok tertekan. Kasihan, kamu tak pernah menang. Perbanyaklah
latihan agar aku tak melulu dominan. Ini zaman emansipasi, buatlah aku bertekuk
setengah mati. Aku percaya kamu bisa; bisssaa
gillaaaa.
Oh ya, aku ingin kegilaan ini tak berujung. Memuai
bersama palka dan masa, singularitas melebur titik ganda di relung hati kita.
Ini memang baru harap, jika dibalik bisa jadi parah. Jangan sampai reaksi
muncul tanpa aksi, jangan sampai prematur dalam berasumsi. Makanya, izinkan aku
menyelami air mata di ngarai pipimu, bisa jadi ceruk itu sudah terlalu curam
dihujani pilu.
Semoga kamu berkenan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar