Pages

Senin, 26 Oktober 2015

RONALD REAGAN DAN PEMBANTAIAN DI SIOUX FALLS


Sempat dimuat di sini

Beberapa bulan lalu Noah Hawley sempat ketar-ketir. Kreator miniseri drama Fargo itu ngeri jika musim kedua serialnya bakal bernasib serupa True Detective. Bukan alasan mengada-ada, sebab sebagaimana kentara terlihat, penikmat –yang pada akhirnya terlanjur mencintai True Detective—kecewa berat dengan musim kedua yang sudah berakhir dan tayang pertengahan tahun ini. Karenanya, Hawley seolah ogah jemawa meski kreasinya tahun lalu banjir penghargaan, termasuk diganjar piala Emmy dan Golden Globe untuk kelas miniseri terbaik.

“Saya jelas enggak bisa mengontrol bagaimana reaksi orang-orang terhadap hasil kerjaan saya. Mungkin kami enggak bakal raih lagi penghargaan, enggak tahu sih. Yang penting mah kerjaan saya selesai,” kata Hawley seolah pesimistis.

Kesan pertama memang penting. Membikin penonton penasaran juga tak boleh disepelekan. True Detective tak berhasil menggugah penikmat serial televisi di episode pertama musim keduanya, sementara Fargo mencengangkan. Imbasnya, kritikus dan penonton tayangan televisi mengganjarnya dengan nilai rata-rata 9 dari 10 bintang. Namun, harus dimaklumi pula bahwa yang menggoda di awal belum tentu berakhir nikmat.

Serupa True Detective, Fargo dibuat cerita tunggal tiap musimnya. Bedanya, Fargo masih mewarisi banyak nuansa musim perdana; satir, dingin, dan komikal. Penyajian gambar pun masih sama, sepinya jalanan dan lanskap putih salju dengan gumpalan darah. Latar juga akur, di Minnesota, Negara bagian di utara Amerika Serikat. Bedanya hanya skala kecil wilayah. Titik pangkal kasus pembunuhan berseri di musim awal terjadi di Bemidji, sementara musim kedua terjadi di Luverne. Bukan tanpa sebab latar masih di situ-situ juga. Ternyata musim awal dan kedua punya hubungan erat, terutama keterkaitan lelakonnya.

okay, then

Fargo musim kedua adalah pemunduran waktu. Molly Solverson (Allison Tolman), yang pada 2006 jadi deputi di kepolisian sektor Bemidji, masih batita waktu ayahnya yang juga seorang polisi, Lou Solverson (Patrick Wilson), menghadapi kasus pembunuhan hakim wanita dan dua pelayan kedai pada 1979 di Luverne. Pada saat itu pula, Ronald Reagan, pensiunan aktor yang jadi Presiden AS, sedang ditekan warga agar segera mengatasi maraknya kasus pembunuhan berseri, sebagaimana digambarkan di sela-sela pembukaan episode pertama musim kedua Fargo berjudul Waiting for Dutch. Pun, Reagan dihadapkan dengan AS yang terdestruksi berbagai persoalan manusianya, seperti pelecehan ras, pelecehan seksual anak dan perempuan, sikap nyinyir warga terhadap Perang Vietnam yang cuma menyisakan kekalahan dan kematian sia-sia, serta maraknya perjudian ilegal yang berbuah kasus kriminal.

Rasanya musim kedua bakal tidak terlalu dingin meski salju terus mengguyur Minnesota. Kehangatan didapat dari banyaknya persoalan yang menjadi jalinan cerita, tidak melulu pada kasus pembunuhan macam di musim awal. Hanya kebetulan, terbunuhnya tiga orang di sebah kedai pinggir jalan menjadi titik pijak para penegak hukum untuk mengungkap kasus kriminal lainnya. Kebetulan juga pelaku pembunuhan adalah Rye Gerhardt (Kieran Culkin), bungsu pasangan Otto Gerhardt (Michael Hogan) dan Floyd Gerhardt (Jean Smart). Mereka adalah keluarga sindikat perjudian, obat terlarang, dan pelacuran. Usahanya menggurita di Dakota Utara, Dakota Selatan, serta Minnesota, walaupun mereka menyebutnya hanya ‘bisnis lokal’. Kebetulan juga Gerhardt berasal dari Fargo, Dakota Utara, asal-muasal Lorne Malvo yang pada 2006 dikejar-kejar FBI karena telah membunuh sedikitnya 33 orang. Kerajaan bisnis keluarga Gerhardt berada di Sioux Falls, Dakota Selatan. Daerah itu menjadi prolog episode pertama, di mana Reagan diceritakan jadi ‘aktor’ utama dalam film berjudul Massacre at Sioux Falls. Menurut sejarah, lembah itu menjadi medan perang antara pasukan AS dengan suku Indian.

“Jika kalian lebih teliti kala menonton musim pertama, kami membuat banyak narasi dengan referensi Sioux Falls.” Itulah Hawley, banyak kejutan yang tak bisa terprediksikan, termasuk menghidupkan peran Rye Gerhardt yang menjadi fokus utama di Waiting for Dutch. Rye yang seolah bakal menjadi antagonis utama sepanjang musim, hidup hanya seumur jagung, meski namanya bakal terus digunjingkan.

Fargo sejatinya proyek ulangan dengan dimensi berbeda. Serialnya mengulang cerita di layar lebar berjudul sama pada 1996, yang masuk nominasi kategori bergengsi Palm d’Or di Cannes, pun di tahun itu. Sutradaranya, Joel Coen, didaulat sebagai Sutradara Terbaik. Kesuksesan Fargo seolah tak berhenti, meraih tiga Piala Oscar – termasuk menjadi film terbaik – di Academy Awards ke-69 serta masuk daftar 100 film terbaik sepanjang sejarah Amerika, pada 1998. Musim perdana Fargo pun mengadaptasi langsung layar lebarnya. Hanya berbeda nama tokoh cerita meski karakter dan alur penceritaannya mirip. Yang bertahan hingga kini adalah nuansanya; dingin, nyinyir, dan satir yang mendukung plot kriminal nan komikal.

Mempertahankan tradisi alur cerita, penyajian gambar, dan spektrum Midwest membuat Fargo tak kehilangan penikmat. Bisa dibilang main aman, namun upaya itu yang membuat Fargo menjadi serial adaptasi layar lebar paling sukses, setidaknya hingga saat ini.  Kunci yang dipegang erat rumah produksi FX, MGM, maupun Nomadic Pictures adalah membawa penulis Fargo versi layar lebar masuk timnya. Tak ayal, nama Joel Coen dan Ethan Coen masuk jajaran produser eksekutif sehingga penulisan cerita yang pimpin Hawley masih beraroma aslinya.


aslining

Musim pertama Fargo punya sensibilitas kuat menjaga mata penikmat tv dengan alur yang tak mudah ditebak. Daya pikat itu masih terjaga dengan baik setidaknya hingga Waiting for Dutch. Yang bisa mengkhawatirkan adalah unsur perubahan suasana dan penciptaan karakter-karakter baru yang bisa saja malah ditampik penonton. Bukan tidak mungkin, Fargo bisa bernasib sama seperti True Detective di musim keduanya. Untungnya, episode pertama musim kedua Fargo jauh lebih baik dan menjanjikan ketimbang seterunya di saluran HBO itu. Nampaknya saluran televisi FX sadar nuansa sehingga tidak mengubah tradisi melainkan menambah sedikit intrik agar penonton tak bosan dengan Fargo. Terlebih, dengan adanya karakter Ronald Reagan sehingga menu cerita Fargo memang kisah sebenarnya, sebagaimana telah diklaim Coen Bersaudara sejak 1996.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar