Sempat dimuat di sini
Beberapa
bulan lalu Noah Hawley sempat ketar-ketir. Kreator miniseri drama Fargo itu
ngeri jika musim kedua serialnya bakal bernasib serupa True Detective. Bukan
alasan mengada-ada, sebab sebagaimana kentara terlihat, penikmat –yang pada
akhirnya terlanjur mencintai True Detective—kecewa berat dengan musim kedua
yang sudah berakhir dan tayang pertengahan tahun ini. Karenanya, Hawley seolah
ogah jemawa meski kreasinya tahun lalu banjir penghargaan, termasuk diganjar
piala Emmy dan Golden Globe untuk kelas miniseri terbaik.
“Saya
jelas enggak bisa mengontrol bagaimana reaksi orang-orang terhadap hasil
kerjaan saya. Mungkin kami enggak bakal raih lagi penghargaan, enggak tahu sih.
Yang penting mah kerjaan saya selesai,” kata Hawley seolah pesimistis.
Kesan
pertama memang penting. Membikin penonton penasaran juga tak boleh disepelekan.
True Detective tak berhasil menggugah penikmat serial televisi di episode
pertama musim keduanya, sementara Fargo mencengangkan. Imbasnya, kritikus dan
penonton tayangan televisi mengganjarnya dengan nilai rata-rata 9 dari 10
bintang. Namun, harus dimaklumi pula bahwa yang menggoda di awal belum tentu
berakhir nikmat.
Serupa
True Detective, Fargo dibuat cerita tunggal tiap musimnya. Bedanya, Fargo masih
mewarisi banyak nuansa musim perdana; satir, dingin, dan komikal. Penyajian
gambar pun masih sama, sepinya jalanan dan lanskap putih salju dengan gumpalan
darah. Latar juga akur, di Minnesota, Negara bagian di utara Amerika Serikat.
Bedanya hanya skala kecil wilayah. Titik pangkal kasus pembunuhan berseri di
musim awal terjadi di Bemidji, sementara musim kedua terjadi di Luverne. Bukan
tanpa sebab latar masih di situ-situ juga. Ternyata musim awal dan kedua punya
hubungan erat, terutama keterkaitan lelakonnya.
okay, then |
Fargo
musim kedua adalah pemunduran waktu. Molly Solverson (Allison Tolman), yang
pada 2006 jadi deputi di kepolisian sektor Bemidji, masih batita waktu ayahnya
yang juga seorang polisi, Lou Solverson (Patrick Wilson), menghadapi kasus
pembunuhan hakim wanita dan dua pelayan kedai pada 1979 di Luverne. Pada saat
itu pula, Ronald Reagan, pensiunan aktor yang jadi Presiden AS, sedang ditekan
warga agar segera mengatasi maraknya kasus pembunuhan berseri, sebagaimana
digambarkan di sela-sela pembukaan episode pertama musim kedua Fargo berjudul
Waiting for Dutch. Pun, Reagan dihadapkan dengan AS yang terdestruksi berbagai
persoalan manusianya, seperti pelecehan ras, pelecehan seksual anak dan
perempuan, sikap nyinyir warga terhadap Perang Vietnam yang cuma menyisakan
kekalahan dan kematian sia-sia, serta maraknya perjudian ilegal yang berbuah
kasus kriminal.
Rasanya
musim kedua bakal tidak terlalu dingin meski salju terus mengguyur Minnesota.
Kehangatan didapat dari banyaknya persoalan yang menjadi jalinan cerita, tidak
melulu pada kasus pembunuhan macam di musim awal. Hanya kebetulan, terbunuhnya
tiga orang di sebah kedai pinggir jalan menjadi titik pijak para penegak hukum
untuk mengungkap kasus kriminal lainnya. Kebetulan juga pelaku pembunuhan
adalah Rye Gerhardt (Kieran Culkin), bungsu pasangan Otto Gerhardt (Michael
Hogan) dan Floyd Gerhardt (Jean Smart). Mereka adalah keluarga sindikat perjudian,
obat terlarang, dan pelacuran. Usahanya menggurita di Dakota Utara, Dakota
Selatan, serta Minnesota, walaupun mereka menyebutnya hanya ‘bisnis lokal’.
Kebetulan juga Gerhardt berasal dari Fargo, Dakota Utara, asal-muasal Lorne
Malvo yang pada 2006 dikejar-kejar FBI karena telah membunuh sedikitnya 33
orang. Kerajaan bisnis keluarga Gerhardt berada di Sioux Falls, Dakota Selatan.
Daerah itu menjadi prolog episode pertama, di mana Reagan diceritakan jadi
‘aktor’ utama dalam film berjudul Massacre at Sioux Falls. Menurut sejarah,
lembah itu menjadi medan perang antara pasukan AS dengan suku Indian.
“Jika
kalian lebih teliti kala menonton musim pertama, kami membuat banyak narasi
dengan referensi Sioux Falls.” Itulah Hawley, banyak kejutan yang tak bisa terprediksikan,
termasuk menghidupkan peran Rye Gerhardt yang menjadi fokus utama di Waiting
for Dutch. Rye yang seolah bakal menjadi antagonis utama sepanjang musim, hidup
hanya seumur jagung, meski namanya bakal terus digunjingkan.
Fargo
sejatinya proyek ulangan dengan dimensi berbeda. Serialnya mengulang cerita di
layar lebar berjudul sama pada 1996, yang masuk nominasi kategori bergengsi
Palm d’Or di Cannes, pun di tahun itu. Sutradaranya, Joel Coen, didaulat
sebagai Sutradara Terbaik. Kesuksesan Fargo seolah tak berhenti, meraih tiga
Piala Oscar – termasuk menjadi film terbaik – di Academy Awards ke-69 serta
masuk daftar 100 film terbaik sepanjang sejarah Amerika, pada 1998. Musim
perdana Fargo pun mengadaptasi langsung layar lebarnya. Hanya berbeda nama
tokoh cerita meski karakter dan alur penceritaannya mirip. Yang bertahan hingga
kini adalah nuansanya; dingin, nyinyir, dan satir yang mendukung plot kriminal
nan komikal.
Mempertahankan
tradisi alur cerita, penyajian gambar, dan spektrum Midwest membuat Fargo tak
kehilangan penikmat. Bisa dibilang main aman, namun upaya itu yang membuat
Fargo menjadi serial adaptasi layar lebar paling sukses, setidaknya hingga saat
ini. Kunci yang dipegang erat rumah produksi FX, MGM, maupun Nomadic
Pictures adalah membawa penulis Fargo versi layar lebar masuk timnya. Tak ayal,
nama Joel Coen dan Ethan Coen masuk jajaran produser eksekutif sehingga
penulisan cerita yang pimpin Hawley masih beraroma aslinya.
aslining |
Musim
pertama Fargo punya sensibilitas kuat menjaga mata penikmat tv dengan alur yang
tak mudah ditebak. Daya pikat itu masih terjaga dengan baik setidaknya hingga
Waiting for Dutch. Yang bisa mengkhawatirkan adalah unsur perubahan suasana dan
penciptaan karakter-karakter baru yang bisa saja malah ditampik penonton. Bukan
tidak mungkin, Fargo bisa bernasib sama seperti True Detective di musim
keduanya. Untungnya, episode pertama musim kedua Fargo jauh lebih baik dan
menjanjikan ketimbang seterunya di saluran HBO itu. Nampaknya saluran televisi
FX sadar nuansa sehingga tidak mengubah tradisi melainkan menambah sedikit
intrik agar penonton tak bosan dengan Fargo. Terlebih, dengan adanya karakter
Ronald Reagan sehingga menu cerita Fargo memang kisah sebenarnya, sebagaimana
telah diklaim Coen Bersaudara sejak 1996.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar