Pages

Kamis, 02 Desember 2010

DI UJUNG LEMBAYUNG KASPIA

Meskipun salju menutupi seluruh Kaukasus
tak sekali pun gletser lenyapkan garam di Kaspia.

“Adalah pesona Kaspia yang kuingat saat matahari menyusut di St Petersburg.” Kalimat yang sering didengungkan Shalma Jasminovh Ismailev pada sejawatnya di Universitas St Petersburg. Baginya, perguliran siang menuju malam menjadi pemandangan elok kala Kaukasus terlihat samar karena backlight. Sementara danau asin yang entah kapan ditumpahkan air garam, dijadikan pembatas Asia dan Eropa menelan pijar surya. Sebuah kemewahan yang dihibahkan Sang Pencipta pada manusia.
            Kereta menuju Dagestan tak mampu memberi Shalma rasa kantuk yang menyengat. Bayangkan, hampir seharian, wanita yang dulu tak pernah memimpikan hidup di ujung Barat Laut Rusia itu, tidak melepaskan pandangannya ke luar jendela. Bukan karena minum kopi arabika satu mug besar. Bukan juga karena insomnia yang sudah menjadi bagian hidupnya ketika pertama kali menginjakkan kaki di Petersburg. Melainkan menawannya tekstur Eropa Timur.
            Padang ilalang memainkan sinar surya. Diajaknya bergoyang mengikuti irama angin. Burung-burung bergegas pulang. Antarkan harapan yang telah direncanakan sejak di Azerbaijan. Anehnya, kereta yang ditumpangi Shalma belum juga menepi. Padahal, sebentar lagi air tenang di tengah Kaspia memantulkan gemerlap cahaya kuning kemerah-merahan. Di mana derap langkah ombak tak sebesar sapuan gelombang di laut Cina Selatan.
            Seperti saat ini. Shalma tak lantas ke rumah ketika kereta sub negara bagian Dagestan tiba di Belidzhi. Kota kecil yang telah memberinya banyak pelajaran. Kota yang menurut Shalma sangat nyaman. Mengikat hati dan memorinya untuk tak lantas memberikan Moskwa di tempat utama. Ataupun Makhachkala, ibukota Dagestan yang memberinya peluang mengisi salahsatu kursi bergengsi di almamaternya saat ini. “Belidzhi adalah wejangan bagiku.” Gumamnya saat langkah tapak kaki Shalma menuju tepian Kaspia tak bisa dihentikan.
*
            “Ini yang aku tunggu,” cetus Shalma sumringah. Rapi gigi putihnya menyongsong udara kala bibir merah muda nan tipisnya mengembang. Memaksa lesung pipit di kedua pipinya mencekung. Rambutnya dibelai semilir angin darat. Sebentar ia rapikan, selendang putih polos dipakainya. Menjaga agar lembaran rambut hitam kekuning-kuningannya tak membuat nelayan mabuk karena bau bulu panjang yang seharian belum dishampo.
Mentari tepat di atas pucuk segitiga Kaukasus. Cahanya menyilaukan para penikmat sore Belidzhi di kafe-kafe murah tepian jalan samping Kaspia. Sinarnya mirip bohlam lima watt, tak harus mengernyitkan dahi untuk sekedar memandangnya. Hangatnya pas, seperti koyo yang tak harus melahirkan berjuta bulir peluh untuk merasakan rasa api.
Shalma membelakangi matahari. Sedang bayangan dirinya tumpah ruah di depan matanya. Macam-macam binatang air terpampang. Dari mulai ikan sampai lumut hijau di kedalaman dua meter mungkin. Ia basuh muka, tangan, dan kakinya. Meski terasa asin, namun baginya rasa itu yang selalu mengelorakan keinginannya untuk pulang. Memberi kenikmatan di setiap pori-porinya yang tidak tahu mengapa membesar dengan sendirinya. Mungkin si pori-pori yang kini ditumbuhi bulu roma itu rindu memainkan air Kaspia seperti sewaktu kecil.
            Sebenarnya, Dagestan berada di pantai Barat Kaspia, tak terkecuali Belidzhi. Ia adalah tempat tidur Matahari, kata orang Persia di seberang Timur sana. Shalma menganggap keindahan saat senja di Kaspia, bukan karena lenyapnya matahari, melainkan gelimang cahayanya yang menyeruak masuk dalam kolam terbesar di dunia itu. Kaspia seperti dangkal. Keangkerannya bisa ditelanjangi. “ Tapi ingat Shalma, Mentari lahir dari perut Kaspia,” pepatah Sang kakek masih terngiang jelas di ujung gendang telinganya.
            Teratai Kaspia mengambang penuh bangga. Menatap sinis cemara Eldar yang berkompromi dengan Panthera tigris virgata – Harimau Persia yang punya janggut panjang mirip Usamah – di kaki bukit Kaukasus. Keberadaan teratai itu menguntungkan beluga sturgeon (orang Persia sebut ikan ‘Huso-huso’) untuk melindungi Kaviar, telurnya yang sering dirampas manusia untuk diolah jadi makanan mewah. Padahal 90 persen populasi ikan berhidung mancung itu menurun, bahkan terancam punah.
             Tarikan nafas Shalma memanjang. Seakan dirinya telah menyatu dengan alam di depan pulupuk matanya yang sengaja dipejamkan. Merasakan aroma khas garam yang terbentang dan menempel pada dinding kristal-kristal air yang sumbernya dari lima negara. Tak terasa bahunya telah dalam genggaman Kanaya. Sahabat kecil yang sering mengajaknya mandi telanjang di cekungan tepi Kaspia dekat sekolahnya.
            Shalma seperti biasa, tak terkejut akan kehadiran sobat dalit-nya itu. Ia paham cara Kanaya memegang bahu. Sedari dulu, tak ada perubahan. Memberi semangat dan dengan bijak menuangkan energi melalui isyarat. “Tanggung jawab dipundakmu Jasmin,” tak perlu diulang-ulang. Harapan Kanaya masih di pegang utuh oleh Shalma. Ia masih ingat, tetes demi tetes air kesedihan mengalir di kedua pipi wanita berkepala batu temannya itu. Ketika mengantarnya sampai stasiun kereta di tengah kota menuju Makhachkala, sebelum ke Petersburg.
**
“Masih seperti dulu?” Nada bicara Kanaya bergetar. Takut Shalma sudah tak bisa bahasa ibunya.
“Tentu. Kau lihat, awan bergumul menyambutku,” seringainya, tersenyum dan membalikkan badan merangkul erat Kanaya.
“Ah, aku rindu kau Merah,” lengkuh Shalma mengacak-acak rambut panjang ikal Kanaya. Memegang hidung mancung milik temannya dan mengoyang-goyangkannya biar sedikit memerah. Mulut Kanaya merekah. Menampilkan gigi gingsulnya yang mampu meluluh-lantahkan Ahmed, lelaki turunan Arab-Avar yang kini mendampingi hidupnya.
“Bagaimana suamimu? Siapa namanya? Ahmed..” Shalma mencoba menggali kembali memorinya yang kini penuh dengan Kaspia. Pertanyannya tak sempat dijawab orang dihadapannya itu. Kanaya malah menempelkan bibir keringnya di kening mulus Shalma.
“Razaikha Ilya Ahmediev. Kau selalu lupa, sudah pikun?” Tanya sang istri di daun telinga Shalma. Sementara tangan Kanaya menggelitiki perut sahabatnya yang tak seramping dulu. Menciptakan rintihan-rintihan kecil keluar dari mulut mungil Shalma.
“Bagaimana tidak, kau hentikan komunikasi kita lewat surat setelah kau dirampas suamimu,” cetus Shalma geram. Kini, kerudungnya telah melorot ke leher jenjang yang tak ada satu pun asesoris melingkar di sana. Badannya berjingkrak, menjauhi tangan nakal Kanaya. Dan berlari meninggalkan air Kaspia yang membasahi celana panjangnya menuju tempat lebih tinggi. Kanaya tertawa, disusulnya perempuan yang kini nampak lunglai kecapek-an itu. Butir keringat menggenangi baju putih Shalma.
“Kau tahu, selama ini yang kupikirkan ketika melihat proses tertidurnya matahari di ufuk barat, hanyalah kumpulan air ini. Mungkin sebagian orang menganggapku berlebihan. Ketika manusia sibuk dengan rencana malam di pub-pub eksotis Petersburg, aku malah menikam diri di ujung kaca jendela asrama. Miris, ada kesamaan ketika melihat gumpalan api bersembunyi di gedung-gedung tua di kota sana. Sedang di sini mentari dipaksa Kaukasus bersembunyi di balik punggungnya. Hanya saja, di sini alam yang berkuasa. Bukan manusia yang memerintahkannya,” Shalma menghadapkan mukanya pada temannya yang sudah tidak ditemuinya hampir tujuh semester itu. Kepalanya kini bersandar di pundak kanan Kanaya sembari merapatkan kulit matanya.
            Gerak angin meneriakkan pesan nelayan. Bahwa pencari ikan itu bakal pulang sebelum lantunan adzan maghrib menyeruak dari masjid-masjid bergaya Turki. Hening, Shalma dan Kanaya sibuk merekonstruksi setiap kejadian yang pernah mereka alami dalam fantasi. Angin berhenti sejenak, kemudian bersiul. Membuyarkan alam pikiran kedua perempuan yang sedang duduk di bawah pohon rindang. Lalu, pergi tanpa memberi pesan.
“Aku jadi teringat saat ayahmu teriak histeris mengabari seluruh tetangga kita bahwa anak semata wayangnya ini berhasil meraih impiannya. Sebuah cita-cita yang kandas diraihnya. Bersekolah di perguruan tinggi ternama di negara ini. Dan ibuku meneteskan kepiluannya serta berujar, ‘maaf nak, kekuatanku hanya sampai di sini. Kalau saja Ayahmu ada, mungkin ia akan cemburu pada Ismailev. Aku yakin, dia akan berjuang agar kau bisa sebangku lagi dengan Jasmin.’ Hmm..beruntung sekali kau punya dia,” Kanaya membelai tangan Shalma. Sementara pilunya ditindih senyum palsu. Gerak tangannya membuka kembali kedua mata Shalma. Membuat kepalanya lepas dan menjauhi pundak Kanaya yang bergetar tanda pegal.
Shalma menepuk dan menggerakkan telapak tangan kanannya di punggung Kanaya. Ia merasa, ada kepedihan yang terbendung dalam tulang rusuk temannya itu. Kepedihan yang selalu Kanaya jajarkan rapi melalui huruf-huruf di setiap lembar kertas surat yang diterimanya sebulan sekali. Shalma ingat, Kanaya sempat menceritakan bagaimana lelaki yang tak dicintainya bisa membawanya ke penghulu. Melepaskan status kegadisannya di altar masjid tempat para sufi mengobati rasa sakit. Otomatis, keperawanannya pun lenyap hanya dalam sekejap di malam jumat.
“Aku rela melepas semua impianku terbang dibawa burung. Bukan karena aku tak mampu meraihnya. Bisa saja kau sebut aku pecundang. Atau kau menyebutku lemah. Namun, aku harus tahu diri. Ibuku dan kedua adikku bakal menjadi batu jika kutinggalkan mereka. Maka, saat itu aku hanya memikirkan bagaimana cara agar keluargaku bisa disirami. Agar nantinya, kedua adikku yang meneruskan cita-citaku. Biarlah diri ini sengsara, aku tak peduli,” air mata Kanaya makin deras. Entah sejak kapan ia menjadi lebih cengeng dibanding Shalma. Dirinya kini tak punya lagi beton untuk sekedar membendung air asin yang dikeluarkan mata birunya.
Shalma mendekap tubuh Kanaya. Erat, takut isaknya mengganggu roh-roh jahat di kedalaman Kaspia. “Justru aku bangga padamu kawan. Kau perempuan perkasa. Lebih kuat ketimbang Laila Ali,” hibur Shalma. Jemarinya naik ke ubun-ubun Kanaya. Penanda bengalnya hati dan kepalanya. Tapi, kini sudah tak lagi. Semenjak impiannya menguap bersama butiran garam Kaspia yang menyengat lubang hidung. “Andai saja dulu aku tak mengenalmu, mungkin aku kini hanya wanita yang tahu arti keteguhan. Kau membuatku menjadi wanita keras. Apalagi hidupku ditopang cadas. Keberadaan dan kemauan besar ayahku menjadi pelindung sekaligus pupuk di ladang tandus. Bahkan ia tak sempat memikirkan sempalan tubuhnya yang hilang karena banting tulang. Dan kali ini, aku melihat sosok bayangannya di depan mata,” Shalma tersenyum. Melempar sebuah penghargaan pada Kanaya yang kini dirundung malu. Malu karena ia masih saja disanjung seperti dulu.
***
Kaukasus telah menelan setengah badan pusat orbit bumi. Menampakkan lembayung di langit sekitar gunung. Cahayanya memaksa awan bewarna jingga. Jauh di ujung mata, layar perahu nelayan seperti muncul dari dasar lautan. Membawa segudang harapan. Shalma berdiri meninggalkan sobatnya sendiri. Sambil berjalan ia mengambil sebuah batu lalu melemparnya sejauh ia bisa. “Kanaya, lihatlah gemuruh kelelawar besar di gunung sana,” ia menunjukkan telunjuknya ke arah gua di tengah rimbunnya Eldar. Makhluk teman Batman pun keluar dari sarangnya. Dengan komandan yang punya sayap terbesar, mereka terbang berbaris rapi menuju perbatasan. Mencari buah-buahan atau apa sajalah yang bisa dimakan.
Kanaya pun bangun. Penasaran dengan apa yang diteriakkan sang teman. Sementara Shalma berdecak kagum. Sudah hampir empat tahun, baru kali ini ia melihat lagi pemandangan langka tersebut. Kanaya hanya tertegun. Melihat tingkah makhluk malam yang bersemangat menjarah alam. Bibir bawahnya digigit, membayangkan kerja kelelawar yang gesit. Padahal langit belum pekat, pikirnya. Shalma berteriak kegirangan. Mencoba mengacaukan barisan kelelawar. Ternyata bukan, ia nampaknya mendendangkan lagu pengiring keberangkatan.
“Ini yang aku suka dari senja Kaspia, Kanaya!” celotehnya setengah berteriak. “Mengapa kebanyakan manusia sering melupakannya?” tanyanya pada Kanaya. Temannya hanya mengangkat kedua pundak. “Kau pasti tahu, hanya saja kau pura-pura tak tahu. Menurutku, senja adalah detik pamungkas peradaban manusia. Jarang sekali manusia bekerja di waktu ini. Bumi akan digantikan gelap malam yang memaksa mereka tidur lelap. Setelah di siang hari mereka berjerih payah mengukir prestasi. Di mulai dengan pagi hari, semangat manusia untuk berkarya menggebu. Masih segar. Setelah itu, posisi matahari naik tepat di ujung kepala. Di mana prestasi kerja yang diraih pun memuncak. Lalu, tibalah senja. Yang memaksa nelayan di sana meletakkan jaring-jaringnya karena lelah.” Tutur Shalma bijak. Kanaya tersenyum, melihat sahabatnya makin pintar. Namun, ia belum puas. Seperti masih ada yang belum terkuras. “Lalu?” Kanaya memancing Shalma berbicara lebih.
“Ini sama halnya dengan kebudayaan manusia. Ketika posisi matahari terbit di timur muncul pertama kali undang-undang Hammurabi. Di Cina, tinta dan kertas tercipta. Di Mesir, Piramida berdiri. Lalu, matahari bergeser ke tengah. Menyengat ubun-ubun manusia. Memberi tahu bahwa dirinya berada di atas kita. Di fase ini kebudayaan timur pun seperti pesona. Meraihnya merupakan sebuah kebanggaan yang tak terkira. Orang Eropa berlomba menguasainya. Di mana rempah-rempah jadi komoditi paling dicari. Porselin menjadi barang yang paling licin,” Shalma menarik nafas, dan melanjutkan bicaranya. “Kini, matahari tergelincir ke Barat. Dunia seperti tersilaukan oleh cahayanya yang menciptakan lembayung indah namun tak tahan lama. Sudah jarang sekali orang suka wayang. Tak ada lagi yang tanpa teknologi. Kehidupan sudah instan. Mandi di kali hanya akan membuatmu merasa jijik. Dendang pujian sufi para darwish terkalahkan televisi,” Shalma menggelengkan kepalanya. “Aku berharap Belidzhi dan saudara-saudaraku tidak tersilaukan matahari barat. Semoga saja Kaukasus tak hangus dibakarnya. Biar saja Kaspia yang menyerapnya. Karena tak mungkin pijar itu sampai ke dasarnya,” Shalma kembali memeluk Kanaya. Merapatkan kedua hati sahabat lama. Agar selalu ada teman yang mengerti dirinya.
Adzan maghrib menggema. Mentari pun telah pamit undur. Mengurung diri di belakang Kaukasus. Bintang-bintang ramai ke permukaan. Namun bulan tak nampak. Mungkin terhalang keraguan. Ragu memperlihatkan kecantikannya di mata Shalma yang telah digantungi rasa kantuk. “Ayo pulang. Ayah-ibumu pasti sangat rindu,” ajak Kanaya pada ‘adiknya’. Bangganya pada Shalma makin lama makin membesar. Kini sahabatnya makin mampu memaknai ritus alam. Sebuah keharusan pikirnya. Sebab manusia hanya bisa meraba-raba skenario keberadaannya. Sementara alam sekitarnya telah memberinya kunci untuk membuka cakrawala. Namun mereka lupa karena egonya. “Kau ingin mimpi indah malam ini kan? Dan esok pagi, kau bangun dengan semangat untuk berdikari,” ujar Kanaya melangkahkan kakinya menyeret Shalma di malam yang makin senyap. Sapuan angin laut mengiringi mereka pergi. Meninggalkan untuk sementara jejak-jejak kenangan yang digali. Hanya sebentar. Senja esok mereka akan kembali. Kembali mengingatkan Kaspia untuk tak terlena waktu senja yang memaksa menyerahkan minyak dan gas alam yang dikandungnya sejak lama.****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar