Pages

Rabu, 28 Desember 2016

MENGAPA DENGAN PUISI?

TUNAS


Jangan tanya seberapa sering saya membuat puisi, karena jujur cuma bisa dihitung jari. Padahal kasusnya mungkin sama dengan pengalaman orang lain yang dikenalkan sejak sekolah dasar. Puisi hanya sesuatu yang saya gemari. Tok, sudah sampai situ. Kenyataannya memang tidak tahu apa-apa, lebih dalamnya maksud saya. Puisi bagi saya cuma karya sastra; rangkaian larik kata bermakna (harusnya) dengan mengutamakan pengulangan bunyi atau rima. Sudah. Untuk mencapai definisi singkat itupun saya tak pernah mencelupkan diri mencari tahu arti sebenarnya lewat ilmu kesusastraan, misalnya. Itu baru puisi. Belum prosa, esai, pantun, atau karya sastra lainnya lagi, mumet saya.


Puisi, dengan definisi dan pemaknaan yang saya pahami, setidaknya saya senangi karena melatih otak untuk berimajinasi. Perkara apapun. Tapi, kalau dibaca-baca lagi beberapa ‘puisi’ yang sempat saya hasilkan kebanyakan soal kekaguman (terhadap lawan jenis) dan kekecewaan. Bangsat.


Andai ada yang bertanya, “kenapa sih kamu lebih banyak mengunggah ‘puisi’ di blog?” mungkin saya akan bingung menjawabnya. Karena enggak tahu. Tapi, sejujurnya sih berkeinginan mengunggah tulisan dalam bentuk esai atau kritik. Cuma saya akui; saya enggak bisa. Saya bukan orang yang pandai menuangkan kritik dalam tulisan meskipun di kampus dulu pernah diajari menulis artikel opini juga tajuk rencana (editorial). Entahlah, mungkin karena dalam pikiran saya menulis artikel opini, lebih-lebih tajuk rencana, harus juga teguh dalam bersikap. Sebutlah artikel opini cuma bertanya tentang salah satu kebijakan pemerintah, hal yang mungkin dipandang sebagai sesuatu yang mudah karena toh cuma bertanya. Tetap saja susah. Masa iya cuma berisi kalimat tanda tanya macam anak SD keheranan; kenapa matahari hanya bersinar pada waktu siang? Enggak lucu sih. Namanya saja opini, sudah barang tentu kudu ada rangkaian kata sebagai pandangan penulis terkait yang ia kritik.


Menulis artikel opini juga susah karena saya kurang referensi keilmuan. Berapa banyak buku keilmuan yang sudah saya baca dan pahami betul-betul? Haduh, secuil. Pengalaman dengan praktik keilmuan itu sendiri? Pengalaman bersosialisasi? Berorganisasi? Aksi massa? Beuh, jangan tanya deh. Nol besar. Sebatas main bareng sama anak kampung mah ada, itupun karena saya tergolong anak kampung, tapi kalau ditanya perkara gerakan, nihil. Makanya, kemungkinan untuk menulis opini, sangat jauh.


Jika demikian, kenapa tidak menulis tentang kehidupan sehari-hari? Kalau saya kasih tahu mungkin ada yang bilang hidup saya ini membosankan. Sejak bangun hingga tidur lagi tidak ada variasi kegiatan, itu-itu saja, monoton. Barangkali sempat sesekali bersenda gurau bersama teman, juga yang itu-itu saja, atau melakukan perjalanan jauh sebulan sekali ke kampung menengok sanak famili dan usaha yang baru dirintis. Sialnya, saya belum berani menceritakan perkara-perkara itu karena keterbatasan diri. Pertama, saya bukan orang yang gampang bercerita masalah keluarga, juga bukan pencerita ulung tentang kebahagiaan yang saya alami dengan sanak famili. Enggak tahu kenapa, enggak terbiasa saja, barangkali. Kedua, urusan usaha belum berani saya ceritakan secara gamblang karena baru dimulai. Keseruan dan kendala yang saya hadapi juga belum terlalu banyak, paling bercerita kalau ada yang bertanya. Itupun terbatas. Bukan enggak mau detil, karena formula dalam menjalankan usaha bersama kawan-kawan itu masih dicari, mana jalan yang paling baik agar usaha ini berjalan lancar dan tak merugikan.


Dari sekian banyak hal masih mentah itu, belum banyak yang bisa saya ceritakan dalam bentuk tulisan. Bukannya pengagum kesempurnaan, tapi tulisan di luar imajinasi-berbentuk-puisi yang saya inginkan malah nantinya tidak enak dibaca dan enggak punya makna sama sekali. Bukan pula menuntut puji, tapi saya sih percaya kalau tulisan ‘serius’ harus punya dampak baik terhadap pembacanya, sebagai alat penghubung ide dengan aksi massa yang berlandaskan keadilan sosial, misalnya.


Sekali lagi, mengapa dengan puisi? Karena saya memang tak pandai menulis. Tapi, enggak apa-apalah, dengan puisi mungkin waktu jeda jadi terisi. Kasihan kan, sudah fakir kegiatan, eh sela kala cuma dipakai melamun. Tak elok.


NB: Mau bilang “tak pandai menulis” saja mesti ngalor-ngidul, enggak penting abis ahaha :p

Tidak ada komentar:

Posting Komentar