ranggas nyawa |
Polemik yang tak rampung di mata ibu seperti daun
kering di halaman rumah. Berserak. Tak ada satu pun yang berani membersihkan,
kecuali dirinya. Itulah ibu dan belimbingnya. Ada keterikatan sendu. Daun
kering berhamparan; lambang kekesalannya. Buah busuk bergelayutan; doa atas
nasib nahasnya.
Ibu dicekam sepi sepanjang waktu. Sejak bapak mati
digantung pria-pria hitam bersepatu. Di pohon itu, dua windu lalu. Tawa dan
bengis menjadi kebiasaannya. Tampak gila bagi mereka. Tidak bagi anaknya.
Ibu juga selalu meringis. Raung ibu penuh kutukan.
Air matanya ungkapan pedih cobaan. Kami hanya bisa menyulam tiap jengkal mimpi
ibu dengan menanam bibit belimbing di pekarangan rumah tetangga. Bibit balas
dendam. “Bukan kalian yang menanam. Mereka sendiri!”
Sebelum ayam jantan mengabarkan pagi, aku dan kakak
melancarkan operasi. Mengendap memasuki pekarangan rumah orang lain. Sekantung
daun kering dan belimbing busuk kami tanam dalam sejengkal galian. Lantas
menyiramnya dengan air pesanan ibu. Air yang tak pernah kami mengerti.
“Air mataku yang terus mengalir sejak bapak kalian
mati, juga tangis kalian sedari bayi. Sekarang kalian sudah tak menangis
memang, dasar laki-laki.”
Apapun yang ibu katakan tak mampu kami lawan. Ibu
di luar nalar, kami kehabisan sadar. Berat melaksanakan tugas itu, tapi kudu.
Kami tahu ibu lebih dari itu menanggung deritanya.
Operasi lancar jika penduduk kampung mati suri
sehabis seharian cari rejeki. Biasanya selepas isa sudah sepi. Kampung dan
kuburan bernasib sama. Tak ada hiburan. Sesekali mungkin, kalau musim panen tiba banyak yang menggelar hajatan. Perkawinan atau sunatan. Namun hiburan tak harus
diadakan, tergantung kondisi keuangan dan banyaknya gabah di sudut-sudut rumah.
Paling mewah dangdutan, itu pun hanya organ. Paling banyak kalau musim
pencoblosan. Untung sekarang bukan musim hajatan dan pemilihan. Jadi, aman.
Kampung kian sunyi kalau ibu berteriak tak
karu-karuan tengah malam. Pintu rumah tetangga tertutup rapat. Mereka percaya
setan bapak sedang gentayangan. Pernah Pak RW dan belasan lelaki datang
menghardik. Bukannya takut, ibu malah bawa badik. Dia lari ke depan rumah
menyambit apa saja sambil memekik. “Itu dia genderuwo! Setan alas! Warya, bunuh
mereka!” Ibu sering menyebut nama Bapak. Entah bayangannya ada atau bualan
belaka.
Lolongan ibu sejatinya abadi. Terkecuali waktu kami
beroperasi. Dia cuma berpura-pura mengumatkan kegilaannya. Hal itu ibu lakukan
biar aku dan kakak tak ketahuan. “Dasar orang kampung bodoh, tak heran urusan
sumbangan mereka selalu terkecoh, terus-terusan miskin, masalah jatah beras
saja mereka selalu kena tipu, dasar dungu.”
Penanaman benih belimbing harus dilalui dua puluh
satu hari, kepada dua puluh satu rumah yang dicurigai, yang berisi lelaki, yang
ikut menghujat dan menggantung bapak hingga mati. Hampir semua rumah berisi
laki-laki yang ibu curigai menggantung bapak hingga mati sudah rampung jadi
target operasi. Tinggal satu rumah lagi yang belum kami sambangi. Rumah orang
paling berpengaruh di kampung ini. Rumah si Kuwu. Mantan penjagal sapi. Kala
bujangan berteman dengan bapak. Satu tongkrongan, mantan preman.
Kami merasa ibu cuma berprasangka. Sebab, para
lelaki yang menyeret bapak dari tempat kerjanya dua windu lalu berpakaian sama.
Serba hitam. Topengnya pun seragam, dengan sepatu jengki mulus berlapis kulit
sapi. Tapi ibu hakulyakin. Orang-orang yang menggantung bapak di pohon
belimbing depan rumah adalah para tetangga. Keyakinannya pada suara dan bahasa.
Semua dia hapal. Tiap suara dia dengar, satu per satu dia tahu. Bahasa mereka
urakan, kata ibu. Tak mungkin orang kota berteriak macam babu.
“Orang kota kalau bicara mengulum suara. Mulutnya
bukan kebun binatang. Perilakunya tertata, bukan seperti jalang yang kerjanya
cuma demi uang. Mereka pasti pakai otak. Tak mungkin berlumur darah demi pasar
sepetak.”
Justru itu yang bikin kami curiga. Prasangka ibu
hanya sampai orang desa. Yang rela membunuh demi jatah makan sebulan. Tergerak
karena hasutan. Apalagi, bapak mati karena penggusuran. Lapak penjagalan
dipindah ke sudut jauh pasar dengan gudang pendingin dan canggihnya mesin.
Bapak kesal karena dia dan teman-temannya tak bisa lagi menjagal. Cuma
centengnya yang potensial berkuasa, meski hanya jadi penjaga. Centeng itu
kemungkinan besar si Kuwu. Dia memang pandai menghasut. Buktinya bisa lama
memimpin desa.
***
Bulan tinggal sepasi. Malam tak terlalu terang.
Penghuni kampung tak mungkin melek berkepanjangan. Terlebih ini musim kemarau.
Angin malam begitu dingin walau kering. Aku dan adikku mengendap seperti
maling. Mata selalu waspada. Hari-hari menjalani perintah ibu berlalu biasa.
Tak ada yang memergoki. Namun desas-desus rumpuyukan tanah di masa kering bikin
mereka curiga pula. Makanya mesti siaga. Jangan sampai gagal di ujung mata,
kesuksesan kami dipertaruhkan, demi titah ibu yang aneh bukan kepalang.
“Kang, rumah Kuwu masih terang.”
“Tiap waktu. Dari dulu.”
Ketakutan itu muncul begitu saja. Ubun-ubun serasa
gatal. Operasi harus dijalankan sematang mungkin. Rumah itu biasa jadi tempat
nongkrong para petinggi desa. Kebanyakan lelaki bangkotan yang masih doyan
bocah perempuan. Kawin hingga tiga kali masih aman, masih diizinkan. Sudah
rahasia umum mereka gemar main gaple atau kiu-kiu. Tentu dengan taruhan dan minuman
setan. Bagi mereka uang bukan rintangan. Setoran beras warga seperempat gelas per hari kan lumayan. Per satu rumah
dikali jumlah kepala keluarga. Giliran bantuan kematian pelit bukan kepalang.
Pohon randu pinggir rumah Kuwu sudah lama ranggas.
Kembang dan kapuk yang biasa beterbangan lenyap dibawa angin kemarau. Di
bawahnya aku dan adikku bersembunyi sebelum melanjutkan aksi. Kami hitung ada
dua kubu tengah bertanding. Masing-masing berjumlah empat kepala. Tambah Ojo
yang sedang memijat pundak si Kuwu dan Makrun sibuk menjaga tungku api beserta
botol-botol tersembunyi. Sepuluh orang. Mumpung mereka masih seru, aku memutar
ke belakang rumah Kuwu menyisir pagar mencari celah. Sementara adikku berjaga di
bawah pohon menjadi spion. Siapa tahu salah satu dari mereka bergerak ke dekat
kolam sisi timur rumah. Di situlah target kami menanam biji.
Seperti biasa, tanah kugali tak terlalu dalam,
membuka belitan kain berisi dua puluh satu biji belimbing dan daun kering,
lantas menanam dan menguburnya. Sial, air ibu dibawa adikku. Jarak aku dan adik
sekitar lima puluh meter, lumayan jauh untuk berjalan, takut keburu ketahuan.
Untuk bersiul pun aku enggan, bisa terdengar ke kuping-kuping para sialan. Tak
ada cara. Aku melempar kerikil kecil ke arah adikku yang masih bersiaga. Ya,
kena. Dia pun mengerti dan segera menyusuri pagar mengantar botol air untuk
tahap terakhir. Berkutat kami di proses pamungkas, lupa tak ada mata yang
sedang awas. Dari samping rumah dekat pancuran air selokan, Makrun kencing
dengan mata memicing. Berteriak maling. Kami yang hendak berpaling malah
terjerembab ke dalam empang. Belum juga ke tepian, orang-orang sudah di depan
mata berkacak pinggang.
“Mau apa kalian? Curi ikan?”
“Mereka anak Mang Warsa, Pak Kuwu!”
“Bapak mati diarak massa, ibu gila, sekarang
anaknya jadi pencuri pula. Keluarga bangsat.”
Kami dibawa ke Kangmas Tentara. Satu-satunya aparat
di desa yang bertugas jadi penegak hukum sekaligus pembela negara. Perantau
sukses. Yang dapat jatah tiap bulan, yang tiap tahun ganti kendaraan. Dia
bersekutu dengan polisi. Kerap nongkrong bareng di pos dekat jalan raya
antarkabupaten. Jalan yang dilewati setahun sekali oleh perantauan.
Tanpa bukti, tanpa diadili, kami dibui. Digiring ke
Polsek pagi hari usai semalaman ditanya macam-macam. Kami disuruh mengaku
mencuri. Padahal memang tidak ada yang dicuri. Justru kami memberi. Bagaimana
juga kami tetap dipenjara. Dikenakan pasal tiga enam dua. Lima tahun paling
lama. Kami dikeram bersama terpidana lainnya. Sebagian pengedar, sisanya copet
pasar.
Musim kering dan hujan sudah berganti. Nihil
jengukan meski makan tak pernah terlewatkan. Ibu baru muncul di musim hujan
kedua sejak kami dipenjara. Dia membawa tentengan. Dua koper butut untuk dua
anaknya.
“Kalian sudah bebas. Pergilah ke mana saja. Jangan
pulang ke rumah. Semuanya sudah dijual.”
Aku dan adik cuma menggugu. Tapi, timbul
pertanyaan. Mengapa bukan cuma kami bedua yang menghirup kebebasan? Aweng,
temanku selama di penjara, juga melenggang begitu saja. Padahal hukumannya
lebih lama.
“Aweng akan bawa kalian ke teman ibu. Ingat,
hati-hati beroperasi nanti. Jangan sampai ditangkap lagi.”
Aku kurang mengerti. Adikku apalagi. Aweng cuma
cengengesan. Mungkin dia paling paham.
“Oh ya, jangan cari lagi ibu, Nak. Besok, lusa,
atau seterusnya. Biarkan ibu dengan bapakmu. Tapi ibu bersyukur, kalian mau
membantu. Kalian memang anak yang berbakti.”
Ibu pulang ke kampung. Sementara kami bertiga
dijemput mobil butut menuju antah
berantah. Aweng bilang ke Ibukota. Delapan jam perjalanan. Kami tiba ketika
senja mulai padam. Di sebuah gudang, tempat paket serbuk putih bertumpukan.
***
Berita itu datang pagi hari di halaman depan
berbagai Koran. Wabah belatung melanda satu kampung. Semua penduduk dilarikan
ke rumah sakit. Dua puluh satu orang mati. Menurut para saksi, belatung
menempel di sekujur rumah penduduk. Hinggap di nasi, bahkan berkerumun di
lubang pembuangan. Belatung juga menempel di kulit. Seperti lintah, belatung itu menyedot darah.
“Belatung pertama kali ada di pohon belimbing yang
tumbuh di rumah-rumah penduduk,” kata seorang saksi dari kampung lain kepada
wartawan.
Aku dan kakak bergidik. Wabah itu, nama-nama itu,
belimbing itu, semua tentang kampungku. Bagaimana nasib ibu? Kakak mengusulkan
untuk pulang, tapi aku melarang. Untuk mencari tahu informasi ibu, aku dan
kakak sepakat membeli seluruh koran yang memberitakan wabah itu. Sial, nama ibu
tak ada dalam daftar pesakitan. Yang kami lihat justru nama si Kuwu yang mati
tanpa kuku. Juga dua puluh orang itu. Mungkin ibu selamat, pikirku. Tetap saja
kakak penasaran. Loper koran di pojok jalan kami datangi. Mungkin dia punya
lembaran-lembaran lama yang bercerita soal kampung kami. Koran-koran selama
tiga bulan belakangan kami baca, siapa tahu kampungku diberitakan juga.
Warta itu ada di halaman tengah koran dua bulan
lalu. Nama ibu ada di situ. Ibu disebut korban bunuh diri akibat lama ditinggal
mati suami, sementara anak-anaknya dipenjara. Foto berita menampilkan
beranda rumah kami. Pohon belimbing dengan tambang kecil melingkar di ujungnya,
serta dinding kayu merah berlumur tulisan; dendam harus dibalaskan dan
dilanjutkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar