Pages

Selasa, 24 Mei 2016

POHON BELIMBING IBU


 
ranggas nyawa


Polemik yang tak rampung di mata ibu seperti daun kering di halaman rumah. Berserak. Tak ada satu pun yang berani membersihkan, kecuali dirinya. Itulah ibu dan belimbingnya. Ada keterikatan sendu. Daun kering berhamparan; lambang kekesalannya. Buah busuk bergelayutan; doa atas nasib nahasnya.

Ibu dicekam sepi sepanjang waktu. Sejak bapak mati digantung pria-pria hitam bersepatu. Di pohon itu, dua windu lalu. Tawa dan bengis menjadi kebiasaannya. Tampak gila bagi mereka. Tidak bagi anaknya.

Ibu juga selalu meringis. Raung ibu penuh kutukan. Air matanya ungkapan pedih cobaan. Kami hanya bisa menyulam tiap jengkal mimpi ibu dengan menanam bibit belimbing di pekarangan rumah tetangga. Bibit balas dendam. “Bukan kalian yang menanam. Mereka sendiri!”

Sebelum ayam jantan mengabarkan pagi, aku dan kakak melancarkan operasi. Mengendap memasuki pekarangan rumah orang lain. Sekantung daun kering dan belimbing busuk kami tanam dalam sejengkal galian. Lantas menyiramnya dengan air pesanan ibu. Air yang tak pernah kami mengerti.

“Air mataku yang terus mengalir sejak bapak kalian mati, juga tangis kalian sedari bayi. Sekarang kalian sudah tak menangis memang, dasar laki-laki.”

Apapun yang ibu katakan tak mampu kami lawan. Ibu di luar nalar, kami kehabisan sadar. Berat melaksanakan tugas itu, tapi kudu. Kami tahu ibu lebih dari itu menanggung deritanya.

Operasi lancar jika penduduk kampung mati suri sehabis seharian cari rejeki. Biasanya selepas isa sudah sepi. Kampung dan kuburan bernasib sama. Tak ada hiburan. Sesekali mungkin, kalau musim panen tiba banyak yang menggelar hajatan. Perkawinan atau sunatan. Namun hiburan tak harus diadakan, tergantung kondisi keuangan dan banyaknya gabah di sudut-sudut rumah. Paling mewah dangdutan, itu pun hanya organ. Paling banyak kalau musim pencoblosan. Untung sekarang bukan musim hajatan dan pemilihan. Jadi, aman.

Kampung kian sunyi kalau ibu berteriak tak karu-karuan tengah malam. Pintu rumah tetangga tertutup rapat. Mereka percaya setan bapak sedang gentayangan. Pernah Pak RW dan belasan lelaki datang menghardik. Bukannya takut, ibu malah bawa badik. Dia lari ke depan rumah menyambit apa saja sambil memekik. “Itu dia genderuwo! Setan alas! Warya, bunuh mereka!” Ibu sering menyebut nama Bapak. Entah bayangannya ada atau bualan belaka.

Lolongan ibu sejatinya abadi. Terkecuali waktu kami beroperasi. Dia cuma berpura-pura mengumatkan kegilaannya. Hal itu ibu lakukan biar aku dan kakak tak ketahuan. “Dasar orang kampung bodoh, tak heran urusan sumbangan mereka selalu terkecoh, terus-terusan miskin, masalah jatah beras saja mereka selalu kena tipu, dasar dungu.”

Penanaman benih belimbing harus dilalui dua puluh satu hari, kepada dua puluh satu rumah yang dicurigai, yang berisi lelaki, yang ikut menghujat dan menggantung bapak hingga mati. Hampir semua rumah berisi laki-laki yang ibu curigai menggantung bapak hingga mati sudah rampung jadi target operasi. Tinggal satu rumah lagi yang belum kami sambangi. Rumah orang paling berpengaruh di kampung ini. Rumah si Kuwu. Mantan penjagal sapi. Kala bujangan berteman dengan bapak. Satu tongkrongan, mantan preman.

Kami merasa ibu cuma berprasangka. Sebab, para lelaki yang menyeret bapak dari tempat kerjanya dua windu lalu berpakaian sama. Serba hitam. Topengnya pun seragam, dengan sepatu jengki mulus berlapis kulit sapi. Tapi ibu hakulyakin. Orang-orang yang menggantung bapak di pohon belimbing depan rumah adalah para tetangga. Keyakinannya pada suara dan bahasa. Semua dia hapal. Tiap suara dia dengar, satu per satu dia tahu. Bahasa mereka urakan, kata ibu. Tak mungkin orang kota berteriak macam babu.

“Orang kota kalau bicara mengulum suara. Mulutnya bukan kebun binatang. Perilakunya tertata, bukan seperti jalang yang kerjanya cuma demi uang. Mereka pasti pakai otak. Tak mungkin berlumur darah demi pasar sepetak.”

Justru itu yang bikin kami curiga. Prasangka ibu hanya sampai orang desa. Yang rela membunuh demi jatah makan sebulan. Tergerak karena hasutan. Apalagi, bapak mati karena penggusuran. Lapak penjagalan dipindah ke sudut jauh pasar dengan gudang pendingin dan canggihnya mesin. Bapak kesal karena dia dan teman-temannya tak bisa lagi menjagal. Cuma centengnya yang potensial berkuasa, meski hanya jadi penjaga. Centeng itu kemungkinan besar si Kuwu. Dia memang pandai menghasut. Buktinya bisa lama memimpin desa.

***

Bulan tinggal sepasi. Malam tak terlalu terang. Penghuni kampung tak mungkin melek berkepanjangan. Terlebih ini musim kemarau. Angin malam begitu dingin walau kering. Aku dan adikku mengendap seperti maling. Mata selalu waspada. Hari-hari menjalani perintah ibu berlalu biasa. Tak ada yang memergoki. Namun desas-desus rumpuyukan tanah di masa kering bikin mereka curiga pula. Makanya mesti siaga. Jangan sampai gagal di ujung mata, kesuksesan kami dipertaruhkan, demi titah ibu yang aneh bukan kepalang.

“Kang, rumah Kuwu masih terang.”

“Tiap waktu. Dari dulu.”

Ketakutan itu muncul begitu saja. Ubun-ubun serasa gatal. Operasi harus dijalankan sematang mungkin. Rumah itu biasa jadi tempat nongkrong para petinggi desa. Kebanyakan lelaki bangkotan yang masih doyan bocah perempuan. Kawin hingga tiga kali masih aman, masih diizinkan. Sudah rahasia umum mereka gemar main gaple atau kiu-kiu. Tentu dengan taruhan dan minuman setan. Bagi mereka uang bukan rintangan. Setoran beras warga seperempat gelas per hari kan lumayan. Per satu rumah dikali jumlah kepala keluarga. Giliran bantuan kematian pelit bukan kepalang.

Pohon randu pinggir rumah Kuwu sudah lama ranggas. Kembang dan kapuk yang biasa beterbangan lenyap dibawa angin kemarau. Di bawahnya aku dan adikku bersembunyi sebelum melanjutkan aksi. Kami hitung ada dua kubu tengah bertanding. Masing-masing berjumlah empat kepala. Tambah Ojo yang sedang memijat pundak si Kuwu dan Makrun sibuk menjaga tungku api beserta botol-botol tersembunyi. Sepuluh orang. Mumpung mereka masih seru, aku memutar ke belakang rumah Kuwu menyisir pagar mencari celah. Sementara adikku berjaga di bawah pohon menjadi spion. Siapa tahu salah satu dari mereka bergerak ke dekat kolam sisi timur rumah. Di situlah target kami menanam biji.

Seperti biasa, tanah kugali tak terlalu dalam, membuka belitan kain berisi dua puluh satu biji belimbing dan daun kering, lantas menanam dan menguburnya. Sial, air ibu dibawa adikku. Jarak aku dan adik sekitar lima puluh meter, lumayan jauh untuk berjalan, takut keburu ketahuan. Untuk bersiul pun aku enggan, bisa terdengar ke kuping-kuping para sialan. Tak ada cara. Aku melempar kerikil kecil ke arah adikku yang masih bersiaga. Ya, kena. Dia pun mengerti dan segera menyusuri pagar mengantar botol air untuk tahap terakhir. Berkutat kami di proses pamungkas, lupa tak ada mata yang sedang awas. Dari samping rumah dekat pancuran air selokan, Makrun kencing dengan mata memicing. Berteriak maling. Kami yang hendak berpaling malah terjerembab ke dalam empang. Belum juga ke tepian, orang-orang sudah di depan mata berkacak pinggang.

“Mau apa kalian? Curi ikan?”

“Mereka anak Mang Warsa, Pak Kuwu!”

“Bapak mati diarak massa, ibu gila, sekarang anaknya jadi pencuri pula. Keluarga bangsat.”

Kami dibawa ke Kangmas Tentara. Satu-satunya aparat di desa yang bertugas jadi penegak hukum sekaligus pembela negara. Perantau sukses. Yang dapat jatah tiap bulan, yang tiap tahun ganti kendaraan. Dia bersekutu dengan polisi. Kerap nongkrong bareng di pos dekat jalan raya antarkabupaten. Jalan yang dilewati setahun sekali oleh perantauan.

Tanpa bukti, tanpa diadili, kami dibui. Digiring ke Polsek pagi hari usai semalaman ditanya macam-macam. Kami disuruh mengaku mencuri. Padahal memang tidak ada yang dicuri. Justru kami memberi. Bagaimana juga kami tetap dipenjara. Dikenakan pasal tiga enam dua. Lima tahun paling lama. Kami dikeram bersama terpidana lainnya. Sebagian pengedar, sisanya copet pasar.

Musim kering dan hujan sudah berganti. Nihil jengukan meski makan tak pernah terlewatkan. Ibu baru muncul di musim hujan kedua sejak kami dipenjara. Dia membawa tentengan. Dua koper butut untuk dua anaknya.

“Kalian sudah bebas. Pergilah ke mana saja. Jangan pulang ke rumah. Semuanya sudah dijual.”

Aku dan adik cuma menggugu. Tapi, timbul pertanyaan. Mengapa bukan cuma kami bedua yang menghirup kebebasan? Aweng, temanku selama di penjara, juga melenggang begitu saja. Padahal hukumannya lebih lama.

“Aweng akan bawa kalian ke teman ibu. Ingat, hati-hati beroperasi nanti. Jangan sampai ditangkap lagi.”

Aku kurang mengerti. Adikku apalagi. Aweng cuma cengengesan. Mungkin dia paling paham.

“Oh ya, jangan cari lagi ibu, Nak. Besok, lusa, atau seterusnya. Biarkan ibu dengan bapakmu. Tapi ibu bersyukur, kalian mau membantu. Kalian memang anak yang berbakti.”

Ibu pulang ke kampung. Sementara kami bertiga dijemput mobil butut menuju antah berantah. Aweng bilang ke Ibukota. Delapan jam perjalanan. Kami tiba ketika senja mulai padam. Di sebuah gudang, tempat paket serbuk putih bertumpukan.

***

Berita itu datang pagi hari di halaman depan berbagai Koran. Wabah belatung melanda satu kampung. Semua penduduk dilarikan ke rumah sakit. Dua puluh satu orang mati. Menurut para saksi, belatung menempel di sekujur rumah penduduk. Hinggap di nasi, bahkan berkerumun di lubang pembuangan. Belatung juga menempel di kulit. Seperti lintah, belatung itu menyedot darah.

“Belatung pertama kali ada di pohon belimbing yang tumbuh di rumah-rumah penduduk,” kata seorang saksi dari kampung lain kepada wartawan.

Aku dan kakak bergidik. Wabah itu, nama-nama itu, belimbing itu, semua tentang kampungku. Bagaimana nasib ibu? Kakak mengusulkan untuk pulang, tapi aku melarang. Untuk mencari tahu informasi ibu, aku dan kakak sepakat membeli seluruh koran yang memberitakan wabah itu. Sial, nama ibu tak ada dalam daftar pesakitan. Yang kami lihat justru nama si Kuwu yang mati tanpa kuku. Juga dua puluh orang itu. Mungkin ibu selamat, pikirku. Tetap saja kakak penasaran. Loper koran di pojok jalan kami datangi. Mungkin dia punya lembaran-lembaran lama yang bercerita soal kampung kami. Koran-koran selama tiga bulan belakangan kami baca, siapa tahu kampungku diberitakan juga.

Warta itu ada di halaman tengah koran dua bulan lalu. Nama ibu ada di situ. Ibu disebut korban bunuh diri akibat lama ditinggal mati suami, sementara anak-anaknya dipenjara. Foto berita menampilkan beranda rumah kami. Pohon belimbing dengan tambang kecil melingkar di ujungnya, serta dinding kayu merah berlumur tulisan; dendam harus dibalaskan dan dilanjutkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar