Tak
ada yang salah memang dengan matamu. Bahkan, biasa, kataku. Tapi harus aku
akui, caramu memandangku membuat tubuh ini menggigil lesu. Gila, ini gila.
Matamu bagai mata air, yang menggumpalkan bening jiwa, sumber penyegaran kala
diriku bosan. Seakan matamu mengajakku berenang, membersihkan tubuhku dari
luka-luka bekas sayatan ribuan wanita yang menaburkan kebohongan, menidurkanku
di manis pangkuan, lantas meninggalkanku begitu saja seolah tak peduli, memang
sepertinya demikian.
Atau
matamu matahari. Bisa jadi. Matamu menyimpan bara api yang memantik gugahku
kala pandang kita menepi. Matamu adalah sumber cahaya, bagi laki-laki miskin
kasih manja. Jika matamu menggolakkan api asmara, sudikah kiranya jentik lahar
kau uarkan sedikit saja. Biarkan hangat menyelimutiku yang sudah lama dingin
terhadap wanita, dirundung beku langut bahagia. Panas delikmu bisa kuhimpun
menjadi peluru bagi wanita-wanita yang dulu menaburkan kebohongan, menidurkanku
di manis pangkuan, lantas meninggalkanku begitu saja seolah tak peduli, sungguh
aku dendam.
Mungkin
matamu mata angin. Penunjuk arah bagi laki-laki petualang yang tak jua
menemukan tempat nyaman untuk pulang. Amuk badai di marah matamu membuatku takut
seenaknya melanglang, kerling nakal itu bikin aku mematung – menyerah begitu
saja pada cumbu pandang. Jika pun matamu mudah mencari arah, tapi apa daya, aku
lebih baik terbenam di sumbunya. Jangan suruh aku mengais gairah dari wanita
lain yang cuma menaburkan kebohongan, menidurkanku di manis pangkuan, lantas
meninggalkanku begitu saja seolah tak peduli, tak bisa aku bayangkan.
Tapi,
matamu penuh airmata. Mata itu juga mata-mata. Sejak kapan kau lumpuhkan para
pemuja hingga tangis tak luruh juga? Kau pikir bahagia hanya canda, lepas tawa
hingga menggema, sedang kelopak menyangkal segala derita. Nyatanya, matamu juga
menaburkan kebohongan, melelapkanku di manis pandangan, lantas mencampakkanku
tanpa kerlingan, nantinya.
Mata kecil mengiris senja jadi dua
Senja sendu, senja gurau
Mata pudar di luruh masa
Menanti cahaya meremas pupilnya
Senja sendu mati kutu
Hilang tawa dendam memburu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar