Pages

Jumat, 09 Oktober 2015

RABU RASA SABTU



Asli, ini bukan resensi atau telaah sastra!

Seperti cerita-cerita Arswendo Atmowiloto sebelumnya, Rabu Rasa Sabtu bikin saya terbahak, terhenyak, dan kadang terisak. Bedanya, Rasa Rasa Sabtu yang berbentuk novel ini begitu nakal. Mas Wendo (akrab banget!) memang tak jarang bikin sebal, apalagi dalam cerpen-cerpennya yang sering dimuat di koran nasional akhir-akhir ini.  Tapi, jangan dikira ini macam Keluarga Cemara atau Dua Ibu.

Arus khayalnya kali ini begitu liar. Tenangnya sedikit, mungkin untuk memberi waktu kepada pembaca biar bisa bernapas dulu sebelum alirannya makin gila. Makin hilir, makin menyebalkan. Padahal diawali dengan hal biasa, cuma secuil penggambaran lelakon yang berkepribadian biasa pula.

Jangan kira hanya dengan membaca 40 halaman Rabi Rasa Sabtu pembaca dapat berlagak jadi dukun sakti yang bisa meramal masa depan kisah Wayang dan Jalmo. Dua manusia super aneh dengan latar belakang super biasa. Wayang yang sangat kaya dan Jalmo yang papa, bahkan tak punya siapa-siapa sebagaimana pengakuannya. Riwayat sepasang sahabat – ah saya lebih suka menganggap mereka sahabat ketimbang kekasih, atau memang sahabat? – yang saling terbuka namun di sisi lain saling menutupi. Ganjil, sebagian  kemungkinan tak ada dalam kehidupan jaman sekarang. Tapi, ya itu, tak jauh-jauh amat sih.

Tiap fase cerita punya daya ledak magis. Bagai petasan Cina. Letupannya tak cuma sekali. Tiap letupan disambung sumbu pendek yang meski tak menggelegar namun membara dan bernyawa. Ledakannya bisa membuat orang gila, bahagia, atau berasa tanpa nyawa. Enaknya lagi, Wendo sudah jauh dari sikap egois. Sudah sangat asal-asalan meskipun nyambung dengan segala alasan.

Sebenarnya yang disajikan agak berat, tentang kematian. Namun tutur komikal seakan memberi tahu bahwa kematian sesuatu yang sepele atau jangan-jangan sangat diharapkan meski sedu-sedan tak diinginkan. Begitu juga soal norma. Mas Wendo jago memutar logika. Semisal anggapan terhadap kelamin, soal cara menghadapi orang gila, penyebab manusia bisa sehat walafiat, atau menggauli orang sakit hampir sekarat. Juga soal cinta. Macam kalimat ini; "separo kamu aja saya sayang, apalagi utuh." Haduh, enggak komentar deh!

Bagi saya, perihal cara pandang Mas Wendo mengenai kemanusiaan dalam novel ini tak melenceng sama sekali dengan novel atau cerpen dia sebelumnya.  Yang agak mengejutkan, kakek yang dulu sempat dibui itu kini berpuisi dan berselancar dengan rima kata. Sesuatu yang buat saya makin terbahak bukan hanya karena narasinya. Kadang memaksa, kadang mengeja, tak jarang enggak kena. Alurnya plin-plan. Banyak kisah kecil yang dihidangkan namun sesaat kemudian disudahi begitu saja. Mungkin Mas Wendo tak mau pembaca terlalu begah, kenyang dengan cerita-cerita yang tak penting, cuma boleh dicicipi sedikit, hanya penambah rasa, biar riwayat Wayang dan Jalmo terlahap semuanya, setidaknya jadi menu utama.

Saya pastikan Rabu Rasa Sabtu bacaan ringan. Bukan cuma volume bukunya, tapi juga ceritanya. Saking ringan juga asiknya, 240 halaman cuma saya baca seharian! Tapi saya tak mau membeberkan ceritanya, sedikit maupun banyak, karena sebagian besar yang terjadi antara Wayang dan Jalmo bisa dialami semua orang. Lagian ogah juga disebut spoiler. Baca saja sana! Beli buku asli atau mendekati asli, sama saja, sama-sama untuk menggaji buruh. Kalau belum mampu, ya pinjam, asal dikembalikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar