Asli, ini
bukan resensi atau telaah sastra!
Seperti cerita-cerita Arswendo Atmowiloto
sebelumnya, Rabu Rasa Sabtu bikin saya
terbahak, terhenyak, dan kadang terisak. Bedanya, Rasa Rasa Sabtu yang berbentuk novel ini begitu nakal. Mas Wendo (akrab
banget!) memang tak jarang bikin sebal, apalagi dalam cerpen-cerpennya yang
sering dimuat di koran nasional akhir-akhir ini. Tapi, jangan dikira ini macam Keluarga Cemara
atau Dua Ibu.
Arus khayalnya kali ini begitu liar. Tenangnya
sedikit, mungkin untuk memberi waktu kepada pembaca biar bisa bernapas dulu
sebelum alirannya makin gila. Makin hilir, makin menyebalkan. Padahal diawali
dengan hal biasa, cuma secuil penggambaran lelakon yang berkepribadian biasa
pula.
Jangan kira hanya dengan membaca 40 halaman Rabi Rasa Sabtu pembaca dapat berlagak jadi
dukun sakti yang bisa meramal masa depan kisah Wayang dan Jalmo. Dua manusia
super aneh dengan latar belakang super biasa. Wayang yang sangat kaya dan Jalmo
yang papa, bahkan tak punya siapa-siapa sebagaimana pengakuannya. Riwayat sepasang
sahabat – ah saya lebih suka menganggap mereka sahabat ketimbang kekasih, atau
memang sahabat? – yang saling terbuka namun di sisi lain saling menutupi. Ganjil, sebagian kemungkinan tak ada dalam kehidupan jaman
sekarang. Tapi, ya itu, tak jauh-jauh amat sih.
Tiap fase cerita punya daya ledak magis. Bagai
petasan Cina. Letupannya tak cuma sekali. Tiap letupan disambung sumbu pendek
yang meski tak menggelegar namun membara dan bernyawa. Ledakannya bisa membuat
orang gila, bahagia, atau berasa tanpa nyawa. Enaknya lagi, Wendo sudah jauh
dari sikap egois. Sudah sangat asal-asalan meskipun nyambung dengan segala alasan.
Sebenarnya yang disajikan agak berat, tentang
kematian. Namun tutur komikal seakan memberi tahu bahwa kematian sesuatu yang
sepele atau jangan-jangan sangat diharapkan meski sedu-sedan tak diinginkan.
Begitu juga soal norma. Mas Wendo jago memutar logika. Semisal anggapan
terhadap kelamin, soal cara menghadapi orang gila, penyebab manusia bisa sehat
walafiat, atau menggauli orang sakit hampir sekarat. Juga soal cinta. Macam kalimat
ini; "separo kamu aja saya sayang, apalagi utuh." Haduh, enggak komentar deh!
Bagi saya, perihal cara pandang Mas Wendo mengenai
kemanusiaan dalam novel ini tak melenceng sama sekali dengan novel atau cerpen
dia sebelumnya. Yang agak mengejutkan,
kakek yang dulu sempat dibui itu kini berpuisi dan berselancar dengan rima
kata. Sesuatu yang buat saya makin terbahak bukan hanya karena narasinya. Kadang
memaksa, kadang mengeja, tak jarang enggak kena. Alurnya plin-plan. Banyak kisah
kecil yang dihidangkan namun sesaat kemudian disudahi begitu saja. Mungkin Mas
Wendo tak mau pembaca terlalu begah, kenyang dengan cerita-cerita yang tak
penting, cuma boleh dicicipi sedikit, hanya penambah rasa, biar riwayat Wayang
dan Jalmo terlahap semuanya, setidaknya jadi menu utama.
Saya pastikan Rabu
Rasa Sabtu bacaan ringan. Bukan cuma volume bukunya, tapi juga ceritanya.
Saking ringan juga asiknya, 240 halaman cuma saya baca seharian! Tapi saya tak
mau membeberkan ceritanya, sedikit maupun banyak, karena sebagian besar yang
terjadi antara Wayang dan Jalmo bisa dialami semua orang. Lagian ogah juga disebut
spoiler. Baca saja sana! Beli buku
asli atau mendekati asli, sama saja, sama-sama untuk menggaji buruh. Kalau
belum mampu, ya pinjam, asal dikembalikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar