alasan |
Hidup di kota yang berisik ini menjadikanku
penyendiri. Alasan utamanya capek. Rutinitas yang berulang dan sosialisasi
buruk membuatku malas keluar dari kamar.
Mungkin pula karena makin tua. Tubuhku
sudah tak selincah dulu. Melangkah di tangga saja bikin napasku mudah
tersengal, seakan mati di depan mata. Jantungku berdegup kencang meminta banyak
oksigen agar aliran darah tak segera berhenti.
Makanya aku lebih banyak diam di kamar, memburu
sunyi. Ternyata enak.
Bermalas-malasan menebarkan anestesi pada tubuh.
Tulang dan otot tubuhku mendingin. Mesin penggeraknya berhenti. Berat mengikuti
hukum gravitasi. Aku bagai disuntik obat bius, tubuhku diam.
Aku sengaja menutup rapat pintu dan jendela biar
sunyi menyergapku. Tak ada kebisingan kecuali tangis bocah dan deru knalpot
sepeda motor. Menyebalkan memang, namun jika aku melerai, yang ada aku remuk
dihantam tetangga dan pengendara. Memangnya siapa aku? Tapi, setidaknya aku
masih punya headset.
Aku sesekali keluar membeli makanan dan rokok.
Setelah perut kenyang aku kembali. Betah berlama-lama, hanya diam sambil asap
tak henti keluar dari mulutku. Kadang merajang air untuk menyeduh kopi. Tak
terlalu sering. Riwayat kesehatan lambungku buruk.
Klaimku ternyata tak benar melulu. Sunyi tak
sepenuhnya senyap. Sebagaimana nol tak sepenuhnya kosong. Otakku melayang.
Kadang melihat ibu, disusul kanguru, atau terbayang culas tawamu sehabis
penolakan itu. Setan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar