Ketidakmungkinan
mana lagi yang akan kita renungkan? Yang berjalan seiring waktu atau yang mati
ditikam dulu? Kita tak jarang berharap ketidakmungkinan itu lebur bersama
kedunguan yang sempat kita buat. Menyalahkan nasib hanya bikin kita mati
berdiri. Menyalahkan nasib cuma buat kita berkhayal sambil berkubang di luapan
lumpur kesalahan. Semakin kita bergerak mengejar ketidakmungkinan, kian dalam
kita terkubur penyesalan.
Perahu
berlayar memecah gelombang. Kita berjalan menembus penghadangan. Kita takjub pada
semua hal yang berwarna. Lantas mengutuk kegelapan yang memungut rasa dingin.
Ini cara kita seperti biasa. Seperti yang telah dilakukan spesies kita
sebelumnya. Berpendarlah waktu, berpijarlah langit. Biaskan semua materi
pembentuk rasa dingin bergelora, bertumbuk satu dengan lainnya, menjadi hangat.
Jabat
tanganku seperti biasa. Kegelapan yang kita hadapi, gelap yang telah dilewati
orang-orang macam kita. Ketidakmungkinan samar di depan mata, kemungkinan pun
demikian adanya, dan harapan menjadikan kita berani menghadapi keduanya demi
secuil kepastian entah di sudut mana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar